PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI QURAN

STUDI AL-QUR’AN
A.    Pengertian Studi Al-Qur’an
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI QURAN
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI QURAN
Studi al-qur’an secara etimologi terdiri dari dua kata, yaitu Studi dan Al-Qur’an. Studi adalah bahasa Indonesia yang telah diadabtasi dari bahasa Inggris, yaitu Study yang berarti penelitian ilmiah, kajian, telahaan, atau mempelajari.  Dengan bahasa lainnya studi juga dikenal dalam bahasa arab dengan  kata ‘Ulum . Kata ‘ulum’ dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari kata عِلْمُ  (‘ilm), ia merupakan bentuk masdar dari kata  (( عَلِمَ-  يَعْلَمُ –  عِلْمٌجمعه : عُلُوْمٌ .[1]Secara etimologi arti kata  عِلْمُ  (ilmu) adalah semakna dengan kata والمعرفة الفهم  (pemahaman dan pengetahuan), dan pada pendapat yang lain kata ilmu juga diartikan dengan kata الجزم  (yang pasti), artinya suatu kepastian yang dapat diterima akal penjelasannya.[2]
 Di dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa kata ilmu adalah merupakan lawan kata dari jahl yang berati ketidak tahuan, atau kebodohan. Kata ilmu juga biasa disepadankan dengan kata bahasa arab lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan. [3]

Menurut M. Quraish Shihab bahwa  setiap kosa kata bahasa Arab yang menggunakan kata yang tersusun dari huruf-huruf ain, lam, dan mim dalam berbagai bentuknya adalah berarti sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan.[4]
Berdasarkan  pengertian ilmu tersebut maka dapat ditarik sebuah pengertian bahwa arti kata ‘ulum (sebagai jamak dari kata ilmu) secara etimologi adalah berarti kumpulan dari beberapa ilmu.
Sedangkan pengertian ilmu secara terminologi mempunyai makna yang beragam, sebab pengertian tersebut dipengaruhi  oleh pendekatan masing-masing tokoh, yaitu sebagai berikut:
a.       M. Quraishy Shihab selaku  ulama   tafsir  mendefenisikan  ilmu  dengan اِدْرَاكُ الشَّيْءِ بِحَقِيْقَتِهِ   (mengetahui yang sebenarnya).[5]
 b.      Menurut  para  hukama’ ilmu adalah:
 يريدون به صورة الشيء الحاصلة فى العقل او تعلق النفس با الشيء على جهة انكشافه

Artinya:
Suatu yang dengannya memberikan gambaran terhadap sesuatu yang dihasilkan akal atau ketergantungan diri dengan sesuatu berdasarkan ungkapan yang jelas.[6]

c. Para ahli kalam member pengertian ilmu dengan :      
 بانه صفة يتجلى بها الامر لمن قامت به
Artinya:
Suatu yang dengannya (ilmu) seseorang menjadi memiliki sifat yang jelas dalam menghadapi suatu perkara.[7]

Ketika ilmu diartikan dengan pengetahuan, maka pengetahuan memiliki dua jenis, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara, dan kegunaannya. Dalam bahasa inggris jenis pengetahuan ini disebut knowledge.Selanjutnya Pengetahuan ilmiah adalah keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan objek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah harus memperhatikan objek ontologis, landasan epistomologis, dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri. Jenis pengetahuan ini dalam bahasa inggris disebut science.[8]Maka adapun ilmu yang masuk dalam kategori pengetahuan ini adalah pengetahuan ilmiah. Berdasarkan beberapa pengertian ilmu tersebut pemakalah memahami bahwa eksistensi ilmu adalah pengetahuan utuh terhadap suatu objek yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Selanjutnya pengertian  ilmu juga dapat ditinjau dari penjelasan ayat Alquran, misalnya sebagaimana penjelasan firman Allah Swt. dalam Surah An-Naml: 15-16.

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ (١٥) وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ (١٦)

Artinya:
Dan Sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan Kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman". Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".

Berdasarkan penjelasan ayat di atas, pemakalah memahami bahwa arti ilmu yang diwariskan Allah kepada nabi Daud dan Sulaiman ada dua bagian. Yaitu ilmu tentang pengelolaan Alam (sunnatullah) sebagai investasi untuk menjalankan kenabian dan roda pemerintahan yang dipimpinnya, dan pengetahuan tentang kalamullah, yaitu pengetahuan tentang kitab Zabur.
Dengan demikian sebuah ilmu dalam Islam harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui standarisasi Islam, sehingga proses melahirkan dan menerapkan ilmu tersebut sarat dengan nilai-nilai keIslaman. Oleh karena hakikat ilmu dalam konsep Islam adalah berasal dari Allah Swt. maka proses penelusuran dan penggunaan ilmu tersebut wajib mematuhi nilai-nilai Islam atau ketetapan yang telah diatur Allah Swt. Dalam konteks sebagai disiplin ilmu, Abu Syahbah menjelaskan bahwa suatu ilmu juga berarti sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan. Maksudnya sebuah ilmu itu juga harus memiliki kesatuan kawasan garapan pembahasan yang jelas dan tujuan tertentu.[9]
Dengan demikian, pemakalah menyimpulkan bahwa pengertian kata ulum sebagai jamak dari kata ilmu adalah berarti kumpulan dari sejumlah pengetahuan ilmiah yang membahas sejumlah materi yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan.
Alquran secara etimologi mengandung makna yang berbeda-beda di kalangan para ulama, yaitu sebagai berikut :
a.         Al-Lihyani dan kawan-kawan mengatakan Alquran berasal dari kata qara-a (membaca)  adalah merujuk kepada firman Allah Swt. Pada surat al-Qiyamah (75) ayat 17-18:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧)فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (١٨)
Artinya:                                                                                                                      
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

b.        Al-Zujaj menjelaskan bahwa kata Alquran merupakan kata sifat yang berasal dari kata  القرأ  (‘al-qar’) yang artinya menghimpun. Kata sifat ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Makna tersebut menunjukkan bahwa kitab Alquran menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, larangan dan  intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
c.         Al-Asy’ari mengatakan bahwa Alquran diambil dari kata kerja ‘qarana’ (menyertakan) karena Alquran menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf.
d.        Al-farra’ menjelaskan bahwa kata Alquran diambil dari kata dasar ‘qara’in’ (penguat) karena Alquran terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan, dan terdapat kemiripan antara satu ayat dengan ayat-ayat lainnya.[10]
Berdasarkan pendekatan etimologi tersebut pemakalah menyimpulkan bahwa Alquran memiliki beberapa kriteria yang beragam, seperti kitab yang menjadi bacaan, kitab yang menghimpun berbagai hal, kitab yang mengandung berbagai kebaikan, dan kitab yang menguatkan kebenaran. Artinya semua makna nama-nama di atas adalah memberikan pesan positif terhadap eksistensi dan peran Alquran di tengah-tengah kehidupan manusia.
Pengertian Alquran secara terminologi telah mendapat komentar dari berbagai ulama. Pendapat tersebut antara lain sebagaimana berikut:
a.         Menurut Manna’ Al-Qaththan:
كَلَامُ اللهِ  الْمُنَزّلُ عَلَى مُحَمّدٍ  ص .م. المُتَعَبّدُ بِتِلَاوَتِهِ.


Artinya:
“Kitab Alah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan membacanya memperoleh pahala”[11]

Kalimat ‘membacanya memperoleh pahala’ pada pengertian di atas telah memberikan  pada sebahagian orang bahwa hanya Alquran yang berpahal membacanya. Namun menurut pemakalah sendiri persepsi demikian adalah keliru, sebab kata-kata lain juga banyak yang bernilai pahala membacanya, seperti hadist, zikir dan lain-lain. Menurut hemat pemakalah kata-kata tersebut di dalam defenisi Alquran adalah bermaksud untuk menunjukkan keistimewaan Alquran al-Karim dibanding bacaan-bacaan yang lain.
Menurut Abu Syahbah:
هُوَ كِتَابُ اللهِ عَزّ وَجَلّ المُنَزّلُ عَلىَ خَاتَمِ أَنْبِيَائِهِ مُحَمّدٍ بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ، الْمَنْقُوْلُ بِالتّوَاتُرِ الْمُفِيْدُ لِلْقَطْعِ وَالْيَقِيْنِ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ مِنْ اَوّلِ سُوْرَةِ الفَاتِحَةِ اِلىَ آخِرِ سُوْرَةِ النّاسِ. 
Artinya:
“Kitab Allah yang diturunkan-baik lafadzh maupun maknanya- kepada nabi terakhir, Muhammad Saw., yang diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad), yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. [12]

Defenisi di atas sesuai dengan firman Allah Swt. yang berbunyi:
 وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (النحل: 89(
Artinya:
“Dan Kamiturunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (An Nahl: bagian dari ayat 89)

Menurut Az-Zarqani studi al-qur’an adalah [13]:
مباحث تتلق بالقرأن الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكتابته وقرائته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذالك

“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan al-qur’anul karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasih mansuhnya (pemberlakuan ketentuan yang baru dibanding ketentuan lama), penolakan hal-hal yang dapat mendatangkan keraguan dari padanya, dan lain sebagainya. 
Jadi dapat disimpulkan bahwa Studi Al-Qur’an atau ‘Ulumul Qur’an secara etimologi adalah Dari sisi gramatikalnya, pengertianulum al-Quran dapat dipahami melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan idhafi dan maknawi. Pengertian Ulum Alquran secara idhafi yakni dalam bentuk idhofi ghoiru mahdhah maka makna lafadh “Ulumyang disandarkan kepada lafadzh “Alquran” adalah berarti semua Ilmu yang berhubungan dengan Alquran karena lafadh “Ulum” adalah jamakyang berarti banyak, sehingga mencakup semua ilmu yang membahas Alquran dari berbagai macam segi. Antara lain, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasm ustmany, ilmu gharib lafadzh, majaz qur’an, dan lain-lain. Selanjutnya definisi Ulum Alquran secara maknawi adalah segala sesuatu yang di bahas di dalamnya berkaitan dengan al-Quran, seperti menurut Abu Bakar al-‘Arabi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran mencapai 77.450 bagian.[14]
Secara terminology menurut para ulama adalah sebagai berikut:
a.       Menurut Muhammad hasby Ash-Shiddiqy:   
مَبأَحِثُ تَتَعَلّقُ بِالْقُرْأنِ الْكَرِيْمِ مِنْ  نَاحِيَةِ نُزُوْلِهِ وَتَرْتِيِبِهِ وَجَمْعِهِ وَكِتَابَتِهِ وَقِرَاءَتِهِ وَتَفْسِيْرِهِ وَاِعْجَازِهِ وَنَاسِخِهِ وَمَنْسُوْخِهِ وَدَفْعِ الشُّبَهِ وَنَحْوِ ذَالِكَ .
Artinya:
“Beberapa pemahaman yang berhubungan dengan Al Qur’an Al-Karim, dari segi turunnya, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nasikh, mansukh, dan penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, serta hal-hal lain”. [15]

b.      Menurut Abu Syahbah sebagaimana yang dikutip oleh Rosihon Anwar merumuskan defenisi Ulumul Qur’an adalah :
 عِلْمٌ ذُوْ مَبَا حِثَ تتعلّقُ باِالقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مِنْ حَيْثُ نُزُوْلِهِ وَتَرْتِيْبِهِ وَكِتَابَتِهِ وَجَمْعِهِ وَقِرَاءَ تِهِ وَتِفْسِيْرِهِ وَاِعْجَازِهِ وَنَاسِخِهِ وَمَنْسُوْخِهِ وَمُتَشَابِهِهِ إِلىَ غَيْرِ ذَالِكَ مِنْ المَبَاحِثِ الّتِى  تُذْكَرُ فِي هَذَا الْعِلْمِ.
Artinya:
“Beberapa pemahaman yang berhubungan dengan Al Qur’an Al-Karim, dari segi turunnya, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nasikh, mansukh, dan penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, serta hal-hal lain”.[16]

Walaupun dengan redaksi yang sedikit berbeda, defenisi-defenisi di atas mempunyai maksud yang sama. Yaitu menjelaskan Ulum Alquran sebagai kumpulan sejumlah pembahasan yang pada mulanya merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri, ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu-ilmu agama dan bahasa, karena masing-masing menampilkan sejumlah aspek pembahasan yang dianggapnya penting untuk menjelaskan kandungan-kandungan Alquran dari berbagai aspeknya. [17]
Ahmad syadali dan Ahmad Rofi’i  menjelaskan bahwa pengertian Ulum Alquran di atas mengandung dua substansi pokok, yaitu :
1.      Ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah pembahasan
2.      Pembahasan-pembahasan ini mempunyai hubungan dengan Alquran, baik dari segi aspek keberadaannya sebagai Alquran maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia.
             Baca juga :
            Pengertian Qur'an
            Sejarah Pengkodifikasian dan Percetakan Al-Quran
          AM KHAS dalam Qur'an.

B.     Obyek Studi Qur’an
Obyek adalah sasaran, dalam ilmu komunikasi, obyek dapat berupa pesan yang bicara (komunike) atau pihak yang diajak bicara (komunikasi). Dalam kajian ilmu , obyek berarti bahasa kajian. Istilah filsafatnya adalah ontology. Setiap disiplin ilmu tidak lepas dari bahasa kajian. Ini merupakan salah satu syarat bagi adanya displin ilmu. Melalui obyek kajian, suatu ilmu dapat dibedakan dengan ilmu yang lain.  Secara garis besar, Studi  Qur’an terbagi menjadi 2 pokok bahasan, yaitu :
  1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam bacaan, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
  2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yaitu ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam, seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Sedangkan dalam kitab Manna' al-Qaththan obyek pembahasan Ulumul Qur'an dibagi menjadi tiga bagian besar [18]:
1.      Sejarah & Perkembangan Ulumul Qur'an
Meliputi  sejarah rintisan Ulumul Qur’an di masa Rasulullah SAW, Sahabat, Tabi'in, dan perkembangan  selanjutnya lengkap dengan  nama-nama  ulama dan  karangannya  di bidang Ulumul Qur’an di setiap zaman dan tempat.
2.      Pengetahuan  tentang Al-Quran .
Meliputi   makna  Quran,  karakteristik   Al-Quran,   nama-nama   Al-Quran,  Wahyu, turunnya Al-Quran, ayat Mekkah dan Madinah, Asbabun Nuzul, dan lain-lain.
3.      Metodologi Penafsiran Al-Quran
Meliputi   pengertian  tafsir  & takwil,  syarat-syarat  Mufassir  dan  adab-adabnya, sejarah  &  perkembangan   ilmu  tafsir,  kaidah-kaidah  dalam   penafsiran  Al-Quran, Muhkam & Mutasyabih, Aam & Khoos, Nasikh wa Mansukh, dan lain-lain.
C.    Ruang Lingkup Studi Al-Qur’an
Studi Qur’an/ ‘Ulumul Qur’an merupakan suatu  ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang  sangat luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik  berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu  balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di  dalamnya.
Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap- tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al-Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.
Firman Allah :’ Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi :109). [19]

Menurut Dr. M. Quraish Shihab, materi-materi cakupan ‘Ulum fsirt al-Qur’an dapat dibagi dalam 4 (empat) komponen[20]:
1.       Pengenalan Terhadap Al-Qur’an :
a.        Sejarah al-Qur’an,
b.       Rasm al-Qur’an,
c.       I’jaz al-Qur’an,
d.      Munasabah al-Qur’an,
e.       Qishah al-Qur’an,
f.        Jadal al-Qur’an,
g.      Aqsam al-Qur’an,
h.      Amtsal al-Qur’an,
i.        Nasikh dan mansukh,
j.         Muhkam dan mutasyabih,
k.       Al-qiraat.
2.       Kaidah-kaidah tafsir :
a.        Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan al-Qur’an,
b.      Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, dan
c.       Kaidah-kaidah khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat al-Qur’an,baik dari ilmu-ilmu bantu, seperti bahasa dan ushul fiqhi, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan al-Qur,an  Sebagai contoh, dapat  dikemukakan kaidah-kaidah berikut :
1)      Kaidah ism dan fi’il,
2)       Kaidah ta’rif dan tankir,
3)      Kaidah istifham dan macam-macamnya,
4)       Ma’aniy al-huruf seperti : asa; la’alla, in, iza; dan lain-lain,
5)       Kaidah su’al dan jawab,
6)       Kaidah pengulangan,
7)      Kaidah perintah sesudah larangan,
8)       Kaidah penyebutan nama dalam kishah,
9)       Kaidah penggunaan kata dan uslubal-Qur’an, dan lain-lain.
3.      Metode-metode tafsir :
                          Komponen ketiga (metode-metode tafsir) mencakup metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh ulama mutaqaddim dengan ketiga coraknya : al-ra’yu, al-ma’tsur, al-isyariy, disertai penjelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode pengembangannya, dan juga mencakup juga metode mutaakhir dengan keempat  macamnya : tahliliy, ijmaliy, muqarran, maudhu’iy.
4.      Kitab-Kitab tafsir dan para mufassir.
 Komponen keempat (kitab tafsir dan para mufassir) mencakup pembahasan tentang kitab-kitab tafsir baik yang lama maupun yang baru, yang berbahasa arab, inggris, atau indonesia, dengan mempelajari biografi, latar belakang dan kecenderungan pengarangnya, metode dan prinsip-prinsip yang digunakan, serta keistimewaan dan kelemahannya.
M. Hasbi Ash-Shiddiqy berpendapat, ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an terdiri atas 6 hal pokok  yaitu [21]:
1.      Persoalan turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
a.       Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an (auqat nuzul wa mawathin an-nuzul ),
b.      Sebab-sebab turunnya al-qur’an (asbab an-nuzul) ,
c.       Sejarah turunnya al-Qur’an (tarikh an-nuzul) ,
2.      Persoalan sanad (Rangkaian para periwayat)
a.       Riwayat mutawattir ,
b.      Riwayat ahad,
c.       Riwayat syadz,
d.      Macam-macam qira’at Nabi ,
e.       Para perawi dan penghapalk Al-Qur’an ,
f.       Cara-cara penyebaran riwayat (tahammul) .
3.      Persoalan qira’at (cara pembacaan al-qur’an)
a.       Cara berhenti (waqaf),
b.      Cara memulai (ibtida’) ,
c.       Imalah ,
d.      Bacaan yang dipanjangkan ,
e.       Meringanklan bacaan hamzah ,
f.       Memasukkan bunyi huruf yang sukun kepada bunyi sesudahnya (idgham ) .
4.      Persoalan kata-kata Al-Qur’an
a.       Kata-kata al-qur’an yang asing (gharib) ,
b.      Kata-kata al-qur’an yang berubah-ubah harakat akhirnya (mu’rab) ,
c.       Kata-kata al-qur’an yang mempunyai makna serupa (homonym ),
d.      Padanan kata-kata al-qur;an (sinonim ),
e.       Isti’arah ,
f.       Penyerupaan (tasybih ) .
5.      Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
a.       Makna umum (‘am) yang tetap dalam keumumannya,
b.      Makna umum (‘am ) yang dimaksudkan makna khusus ,
c.       Makna umum (‘am) yang maknanya dikhususkan sunnah,
d.      Nash,
e.       Makna lahir,
f.       Makna global  (mujmal) ,
g.      Makna yang diperinci ( mufashshal),
h.      Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan (manthuq) ,
i.        Makna yang dapat dipahami dari pembicaraan (mmafhum),
j.        Makna yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan (muhkam)  ,
k.      Nash yang muskil ditafsirkan karena terdapat kesamaan di dalamnya (mutasyabih) ,
l.        Nash yang maknanya tersembunyikan karena suatu sebab yang terdapat pada kata itu sendiri (musykil) ,
m.    Ayat yang “menghapus”dan yang “dihapus” (nasikh-mansukh),
n.      Yang didahulukan (muqaddam ) ,
o.      Yang diakhirkan (mu’akhakhar).
6.      Persoalan makan Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an
a.       Berpisah ,
b.      Bersambung (washl),
c.       Uraian singkat (I’jaz) ,
d.      Uraian panjang (ithnab),
e.       Uraian seimbang (musawah),
f.       Pendek (qashr).
Dari uraian diatas menggambarkan bahwa “ulumul al-Qur”an mencakup bahasan yang sangat luas, antara lain ilmu nuzul al-Qur’an, asbab al-nuzul, qiraat, ilmu an-nasikh wa al-mansukh dan ilmu fawatih as-suwar serta masih banyak yang lainnya. Karena begitu luasnya cakupan kajian ‘Ulumul Qur’an, maka para ulama harus mengakhiri definisi yang mereka buat dengan ungkapan “dan lain-lain”. Ungkapan ini menunjukkan, kajian ulumul quran tidak hanya hal-hal yang disebutkan dalam definisi itu saja, tetapi banyak hal yang secara keseluruhan tidak mungkin disebutkan dalam definisi. Ibnu Arabi (w 544 H), seperti yang dikutip oleh Az-Zarkasyi, menyebutkan, Ulumul Qur’an mencakup 77.450 ilmu sesuai dengan bilangan kata-katanya. Hal itu sesuai dengan pendapat sebagian kaum salaf, yang melihat bahwa setiap kata dalam Al-Quran mempunyai makna lahir dan bathin, selain itu terdapat pula hubungan-hubungan dan susunan-susunannya. 

D.    Tujuan Studi Al-Qur’an
Dalam kajian filsafat ilmu tujuan suatu displin ilmu dikenal dengan istilah aksiologi.  Maka aksiologis ‘ulûm al-Qur’an tidak terlepas dari tujuan Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil.Dalam berbagai versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan (Zhulumât)di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain kepada sebuah cahaya (Nûr) petunjuk Ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan akan mendatangkan kebahagiaan.
Dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah ‘ulûm al-Qur’an dihasilkan. Sementara tujuan pokok Al-Qur’an menurut Quraish Shihab adalah[22] :
a.       Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
b.      Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalam menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara
Individual atau kolektif.
c.        Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan mempelajari studi al-qur’an atau ulumul qur’an adalah sebagai berikut :
1.  Memperoleh keahlian dalam mengistimbatkan hukum syara’ baik mengenai keyakinan atau I’tiqad, amalan, budi pekerti maupun lainnya.
2. Memudahkan umat Islam dalam membaca, memahami kandungan al-qur’an.
3. Mengurangi perbedaan pemahaman-pemahaman yang prinsipil.
4. Menggali kandungan yang terdapat dalam al-qur’an.
5. Menguatkan keimanan dan solidaritas terhadap ajaran al-qur’an.
6. Menjelaskan kelebihan-kelebihan al-qur’an sebagai wahyu Allah bila dibandingkan dengan kitab suci lainnya.
7. Mempersenjatai diri dari serangan yang melemahkan al-qur’an dari waktu ke waktu. 
Merujuk pada pengertian di atas, maka disiplin ‘ulûm al-Qur’an memiliki urgensi yaitu untuk mengetahui isi kandungan Al-Qur'an dengan memahami berbagai petunjuk dan informasi yang ada di dalamnya. Melaksanakan ajaran Islam tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al-Qur’an terlebih dahulu, serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup di dalamnya. Untuk itulah diperlukan ‘ulûm al-Qur’an, yang merupakan kunci pemahaman kita terhadap Al-Qur’an.

E.     Metode Studi Al-Qur’an
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpkir baik-baik untuk mencapai maksud [dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan.
Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisikpun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Ada 5 pendekatan yang digunakan dalam studi Qur’an yaitu :
1.      Pendektan bi al-Ma’tsur (wahyu) Sebagaimana dijelaskan Al-Frmawi, studi Alquran dengan pendekatan bi al-Ma’tsur (bi ar-riwayah dan an-naql) adalah penafsiran Alquran yang berdasarkan pada penjelasan Alquran sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat, dan aqwal thabi’in.[23]
2.       Pendekatan bi al-Ra’yi(ijtihad). Sebagaimana didefinisikan Husen Adz-Dzahabi yang dikutip Rosihan Anwar, studi Alquran dengan pendekatan bi al-Ra’yi adalah menafsirkan Alquran yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya.[24]
3.      Pendekatan sejarah. Dalam konteks studi Alquran, Pendekatan sejarah merupakan salah satu pendekatan yang sangat membantu dalam memahami Alquran, karena analisis sejarah akan mengantarkan pada pemahaman terhadap konteks mikro (sebab turunnya ayat) dan makro (kondisi sosiologi) yang melatar belakangi turunnya ayat Alquran. [25] 
3.      Pendekata Hermeneutika. Secara etimologi kata “hermeneutika” mengakar pada kata kerja bahasa Yunani hermeneutika yang berarti “penafsirkan” dan pada kata benda hermenia yang berarti penafsiran. Dalam Studi Alquran pendekatan ini sangat penting dilakukan, karena pada dasarnya Hermeneutika berkaitan erat dengan bahasa, yang diungkapkan, baik melalui pikiran, wacana maupun tulisan. Alquran sendiri tidak terlepas dari teks/bahasa yang harus diinterpretasikan dengan konteks social yang ada.[26]
4.       Pendekatan Kontekstual. Menurut Noeng Muhadjirin sebagaimana dikutib oleh Ahmad Syukri Saleh pendekatan Konstektual dalam studi Alquran, sedikitnya mengandung tiga pengertian. Pertama upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti  konstektual identik dengan situsional. Kedua pemaknaan yangmelihat keterkaitan masa lalu,masa kini dan masa yang akan dating: dimana suatu akan dilihat dari sudut makna histories dulu, makna fungsional saat ini dan memprediksi makna yang dianggap relevan dikemudian hari. Ketiga mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dan  periferi, dalam arti yang sentral adalah teks Alquran dan yang periferi adalah terapannya.
Berdasarkan beragam pendekatan yang ditempuh oleh seorang mufassir, Dr.Abdul Hay Al-Farmawi membagi metode tafsir,[27]kepada empat macam, [28]yaitu:
1.      Metode tafsir Tahliliy.Metode tafsir Tahliliy ialah dikenal dengan metode analitik, yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang di tafsirkan itu serat menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufassir yang menafsirkn ayat-ayat tersebut.
2.      Metode tafsir Ijmaliy.Metode tafsir Ijmaliy dikenal dengan Metode Global, Yaitu,menjelaskan ayat-ayat Alquran secara ringkas dan padat,tapi mencakup;dan enak dibaca, sistimatikan penilusannya menuruti susunan ayat di dalam mushaf.di samping itu penyajiannya diusahakan tidak terlalu jauh dari gaya (uslup) bahasa Alquran.
3.      Metode tafsir Muqarran.Metode tafsir Muqarrindikenal dengan metode komperatif, yaitu mufassir berusaha  Membandingkan taks (nash) ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan rediksi yang beragam, dalam satu kasus yang sama atau diduga sama, Membandingkan ayat Alquran dengan hadits Nabi saw dan  membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran.
4.       Metode tafsir Maudlu’i. Metode tafsir Maudlu’iy dikenal dengan metode Tematik, yaitu terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama adalah tafsir tematik dengan cara membahas satu Alquran secara menyeluruh. Memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umumnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan berbagai ayat dan berbagai ayat dan berbagai pokok masalah dalam satu urat tertentu. Bentuk kedua adalah tafsir tematik dengan cara menghimpun dan menyusun seluruh ayat yang memiliki kesamaan arah, kemudian menganalisanya dari berbagai aspek, untuk kemudian menyajikan hasil tafsiran kedalam satu tema tertentu.
Disamping studi Alquran dapat dilihat dari sudut pendekatan,dan metode,juga dapat dilihat dari sudut pandang corak penafsiran. Rachmat Syafe’I membagi corak penafsiran Alquran kepada lima pembagian yaitu, al-Fiqhi, al-Sufi, al-Ilmi, al-Adabi Ijtima’I,dan al-Falsafi [29].
5.      Tafsir al-fiqh
Tafsiral-Fiqh ialah penafsiran ayat Alquran yang dilakukan oleh tokoh suatu mazhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir fiqh banyak di temukan dalam kitab-kitab fiqhi karangan imam-imam dan berbagai mazhab yang berbeda. Salah satu kitab tafsir fiqhi adalah kitab: Ahkam Alquran karangan al-jasshashl.
6.      Tafsir al-Shufi.
Penafsiran yang dilakukan oleh para sufi pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan mistik tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih dari untuk menghayati ajaran tasawuf.
Terdapat dua arah dalam menafsirkan alquran:
a). Tasawuf teoritis (al-tasawuf al-nadhary).
 Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji Alquran berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka berusaha maksimal untuk menemukan ayat-ayat Alquran tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori mereka, sehingga tampak berlebihan dan keluar dari dhahir yang dimaksudkan syara’dan didukung oleh kajian bahasa.
Penafsiran demikian ditolak dan sangat ditolak dan sangat sedikit jumlahnya. Tidak pernah ada karya yang lahir dari aliran ini secara lengkap mengikuti mushaf usmani, kecuali hanya karya penafsiran ayat-ayat Alquran secara acak yang dinisbahkan kepada Ibn arabi yang bernama kitab al-futuhat al- makiyyah wa al-fushush.
b). Tasawuf Praktis (al-tasawuf al-amaly).
 Tasawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktikan gaya hidup sengsara, zuhud dan melebur diri dalam ketaatan kepada Allah. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan tafsir al-Isyari,yaitu mentakwilkan ayat-ayat, berbeda dengan arti dhahirnya berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti dhahir yang dimaksudkan. Diantara kitab tafsir adalah tafsir Alquran Al-karim, karya Sahl bin Abdullah At-Tusturi dan Haqaiq al-tafsir, karya Abu Abdul Rahman Al-Sulumi.
3.       Tafsir al-Ilmi
 Aliran tafsir ini mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Alquran dengan mengaiykannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan  medorn yang timbul pada masa sekarang, di antara kitab tafsir ilmi adalah: Tafsir Al-Islam Yataadda, karangan Al-AllamahWahid al-Din Khan.
4.      Tafsir al-Adabi al-Ijtima’I.
Aliran tafsir adabi muncul sebagai akibat perkembangan kehidupan modern. Aliran tafsir berusaha memahami nash-nash Alquran dengan cara teliti selanjutnya menjelaskan makna-maknayang dimaksud Alquran dengan gayabahasa yang indah dan menarik. Selanjutnya penafsir berusaha menghubungkan nash-nash Alquran dengan realitas social dan systim budaya yang ada dengan prinsip bahwa Alquran bersifat umum, inti dari prinsip ini adalah bahwa kandungan dan petunjuk Alquran bersifat umum, representative dan berkelanjutan terus sampai hari kiamat.
 Tokoh pertama yang memperkenalkan aliran ini adalah Muhammad Abduh. Di antara kitab tafsir aliran ini adalah tafsir al-manar karya Muhammad Rasyid Ridha,Tafsir Maraghi, karyaMustafa al-maraghi.
5.      Tafsir al-falsafi.
Aliran tafsir falsafi adalah cara penafsiran ayat-ayat Alquran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mengompromikan atau mencari titik temu antara filsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan  di antara keduanya. Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasarkan berdasar corak falsafi ini yaitu kitab tafsir Fathul Bayan, Karya Siddiq Khan.

Penjelasan mengenai corak  penafsiran Alquran dalam lintasan sejarah terakhir, sebagaimana tersebut di atas, sudah dapat membawa kita kepada beberapa karya terpenting dalam Studi Alquran, baik dalam bentuk al-Fiqhi, al-Sufi, al-Ilmi, al-Adabi Ijtima’I maupun al-Falsafi.

Perkembangan mutakhir dan kontribusi para ilmuwan barat dalam studi al-qur’an
Perkembangan pada periode mutaakhir dalam studi al- Qur'an terjadi pada abad ke 4 atau 12 H. Dimana setelah agama Islam meluas sampai ke daerah-daerah yang berkebudayaan lama seperti Persia, Asia Tengah, India, Syiria, Turki, Mesir, Ethiopoa, dan Afrika Utara, maka mulailah kaum muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh penganut-penganut kebudayaan negara-negara tersebut. Pada saai ini kaum muslimin mulai ramai mepelajari ilmu logika, ilmu filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum dan lainnya. Perubahan ini menimbulkan perubahan pula dalam penyusuna dan pemikiran tentang kitab-kitab tafsir.  Ahli-ahli tafsir tidak lagi hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi’in dan tabi’it saja, akan tetapi telah mulai bkerja menyelidiki, meneliti dan membandingkan terhadap karya-karya tafsir terdahulu.
Telah banyak yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan muslim dalam kajian studi Alquran. Dan begitu banyak kitab-kitab kontemporer yang membahas Alquran dengan berbagai metode. Pada pertengahan abad XIX Masehi, timbul di eropa usaha-usaha dari beberapa orientalis menyusun surat Alquran dan mempelajari fasefase yang berhubungan dengan sejarah turunya. Mereka itu antara lain :
1.      G. Weil telah berusaha menyususn surat Alquran secara kronologis, dimulai tahun 1844 dan baru selesai tahun1872 di dalam bukunya “Historisch Kritische Einletung in der Koran” sayang sekali di dalam usahanya menyususn tertib surat-surat Alquran secara kronologis itu, G.Well tidak menghargai riwayat-riwayat, dan sanad-sanad (sumber) dari kalangan islam sendiri. Tetapi anehnya  ia sipuji oleh Blachere sebagaiseoerang yang berhasil dengan metodenya itu memperoleh data-data yang benar.
2.      BLachere di dalam bukunya “Le Goran, Trduction Selon Un Essai De Reclassemenet des Sourates” yang berusaha melakukan terjemahan terhadap Alquran. Menurutnya terjemahan tersebut adalah terjemahan yang paling cermat dan teruji, karena nilai ilmiyah yang menonjol didalamnya. Hanya saja tertib surat yang secara kronoligis yang di lakukan oleh Blachere sebagaimana diakuinya dengan metode yang tidak terlepas dari mencari-cari sesuatu tanpa petunjuk atau pedoman.
3.      Usaha-usaha dari beberapa orientalis Barat yang berusaha menyusun surat Alquran dan mempelajari fase-fase yang berhubungan dengan sejarah turunnya tersebu, sedikit banyaknya telah mempengaruhi perkembangan Studi Alquran diakhir-akhir ini, lebih-lebih lagi dengan telah banyaknya orang-orang Muslim yang belajar Agama di Dunia Barat, yang pada akhirnya memberikan warna tersendiri bagi perkembangan Studi islam pada umumnya dan Studi Alquran khususnya.






[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, tt), hlm. 278
[2] Muhammad Adzhim al-Zarqany, Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut: Dar-Kutubul ‘Ilmiah, tt.), hlm. 14.
[3] Tim penyusun, Nina M. Armando (ed.),Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 161.
[4]  M. Quraish Shihab, (Tafsir al-Misbah ; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta : Lentera Hati, 2002), vol.1, hlm.145.
[5]  Ibid,hlm.146
[6]  Muhammad Adzhim al-Zarqany, Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran……hlm.15
[7] Ibid.
[8] Tim penyusun, Nina M. Armando (ed.),Ensiklopedi Islam…..hlm. 161.
[9]  Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Alquran al-Karim, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1992), hlm. 18.
[10]  Rosihon Anwar, Ulum Alquran, (Bandung: CV. Pustaka, 2008),hlm 32-34.
[11] ibid. 33.
[12] Ibid, 34
[13] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al’irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut ,tt,Jilid I, hlm. 27
[14] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Ulum Alquran I, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet.II, hlm. 11.
[15] Muhammad hasby Ash-Shiddiqy.  Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 2.
[16] Rosihon Anwar…. hlm. 12-13.
[17]Ibid,hlm.9
[18] Manna' al-Qaththan, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an…hlm 8.

[19]Al-Quran dan Terjemahannya ( Cet.X Bandung, CV Penerbit   Diponegoro, 2005), h. 209
[20] Mardan, Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.h.19
[21]T.M.Hasbie Ash-Shiddiqiy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta,1994,hlm 100-102
[22] Ali Ibn Ibrahim ibn Said, Al-Burhan fi ulum al-Qur’an.
[23]Abd. Hay Al-Farmawy, Bidayah fi al-tafsir al-maudlu’I Cet ke II. (Mesir: Maktabah Al-Jumhuriyyah, 1977), hal.25
[24] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir.Cet Ke-III. (Bandung: Pustaka Setia, 2005, hal.143
[25] Ahmad Syukri Salah, Metodelogi Tafsir Alquran Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman. Cet. Ke-1 (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), hal.66
[26] Ahmad Syukri Saleh, Metodelogi Tafsir Alquran Konteporer dalam pandangan fazlur rahman. Cet Ke- I. (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007) hal.58.
[27]Tafsir secara etimologi memiliki arti yang semakna dengan al-idhah(keterangan) dan al-Tabyin (Penjelasan), makna ini diambil dari QS. AL-Furqan ayat 33: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsirannya (penjelasannya). Adapun tafsir secara terminology adalah penjelasan tentang kalam allah ‘azzawajalla dengan memberi pengertian mengenai pemahaman kata-kata demi kata, susunan kalimat yang terdapat dalam Al-Qur’an . Dari definisi ini dapat dimengerti bahwa tafsir adalah upaya memahami maksud Allah  sesuai dengan kemampuan manusia. Dalam pengertian ini, tafsir merupakan upaya dalam mengarahkan segenap kemampuan dalam memahami maksud dari redaksi AL-Qur’an sebagai mana dikehendaki oleh pemilik redaksitersebut. Lihat: Ahmad Syurbasyi, Sejarah Pengembangan tafsir AL-Qur’an Al-Larim, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hal.105.
[28] AL-Farmawy, Bidayah fi al-Tafsir…, hal.23

[29]Syafe’I, Pengantar…, hal. 242.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANGGAPAN DASAR DAN HIPOTESIS

Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist