Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist

Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist
Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist
Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist
Arifuddin Ahmad dalam bukunya Paradigma Baru Memahami Hadith Nabi SAW yang dikutip oleh Zuhrah mendefenisikan interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadith nabi berdasarkan teks dan matan hadith semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan petunjuknya, waktu, sabab wurud, dan sasaran ditujukannya hadith tersebut, bahkan tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadith nabi yang dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat universal.Salah satu contoh hadith yang bersifat universal dan dapat dipahami secara tekstual yaitu :

عن جابر ابن عبدالله رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : الحرب خدعة. 

“Dari Jabir ibn Abdillah ra., Nabi saw. bersabda : “perang itu siasat”.

Pemahaman terhadap petunjuk hadith diatas sejalan dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat. Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya dengan menyerahkan diri kepada musuh. Contoh lain hadith yang bersifat universal dan dipahami secara tekstual adalah sebagai berikut.
                           
اِغْتَسِلُوْامِنْهُ وَتَوَضَؤُوْافَاِنَّهُ هُوَالطَّهُوْرُمَأُهُ

“Mandilah dan berwudulah kalian dengan air laut tersebut, sebab air laut itu suci dan bangkainyapun juga halal”

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad. al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abu Hurairoh, dia bekata: “Pada suatu hari kami pernah pergi bersama Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seorang nelayan, seraya bertanya, ya Rasullallah sesungguhnya kami ini biasa pergi ke laut untuk mencari ikan. Pada waktu kami berlayar sampai di tengah laut kami kadang bermimpi keluar air mani (junub). Dengan demikian kami tentu perlu air untuk mandi dan berwudlu. Bagaimana jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air laut? Sebab jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air tawar yang kami bawa untuk minum tentu kami akan mati kehausan. Nabi kemudian bersabda sebagai mana dikutip diatas.[2]
kalau melihat Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist, Setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengan asbabul wurudnya tadi, hadith tersebut di atas ternyata tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis atau tekstual.  

Baca juga: 
 HADIST YANG BERTENTANGAN (TA’ARRUDL HADITH) DAN PEMECAHANNYA)
Sebagai jalan memudahkan pemahaman pengertian tekstual dan kontekstual, berikut ada suatu peristiwa di jaman rasulullah. Suatu ketika, Nabi saw. memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan: "La yushaliyanna ahadukum al-ashra illa fi Bani Quraizhah" (Janganlah ada salah seorang di antara kamu yang shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah). Perjalanan ke perkampungan tersebut ternyata begitu panjang, sehingga sebelum mereka tiba di tempat yang dituju, waktu Ashar telah habis. Di sini, mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi di atas. Ternyata sebagian memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di sana pada waktu masih Ashar. Jadi, bukan seperti bunyi teksnya yang melarang shalat Ashar kecuali di sana. Dengan demikian, mereka boleh shalat Ashar walaupun belum tiba di tempat yang dituju. Tetapi sebagian yang lain memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu, mereka baru melakukan shalat Ashar setelah waktu Ashar berlalu, karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah (tempat yang ditunjuk oleh teks perintah Nabi) setelah waktu Ashar berlalu.
M. Saad Ibrahim menjelaskan tentang kontekstualisasi sebagai berikut.  Ada dua batasan dalam rangka kontekstualisasi teks-teks Islam. Pertama, Untuk bidang ibadah murni ('ibadah mahdlah) dan aqidah, tidak ada kontekstualisasi. Hal ini memiliki arti bahwa, penambahan maupun pengurangan untuk kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, berarti membuat bid'ah, khurafat, dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Kedua, untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada substansi matan, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya. Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam tidak akan kehilangan asas pokoknya yang terletak pada norma-norma bidang ibadah murni dan aqidahnya. Demikian pula pemahaman teks-teks Islam, tidak akan kehilangan sifat universalnya, karena tetap terpeliharanya asas pokok tersebut yang memang bersifat universal. Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist pemahaman teks-teks Islam adalah jelas. Upaya ini bertujuan agar interpretasi tersebut tetap eksis dan tetap sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki peran dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan beberapa ahli hadith yang dirangkum, Zuhrah menyimpulkan bahwa memahami hadith Nabi saw. dengan teknik interpretasi kontekstual ini harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya sebagai berikut.
  a.    Bentuk dan cakupan petunjuk hadith. Antara lain, yang berupa jawami’ al-kalim (perumpamaan yang singkat dan padat), tamtsil (perumpamaan), hiwar (dialog) dan lain-lain. serta apakah hadith tersebut bersifat universal atau temporal dan lokal.
Rofiudin memberikan beberapa contoh hadith sebagai berikut.
Contoh hadith 1
“Saya dibangkit (oleh Allah) dengan (kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan yang singkat, namun padat makna.“ (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya dari Abu Hurairah)
Contoh hadith 2
“Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya.“ (HR. Bukhari, Muslim, dan al-Turmudzi dari Abu Musa al-Asy’ari)
Hadith Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai [3] bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian yang lain.
Contoh hadith 3
“Barangsiapa melaksanakan ibadah haji karena Allah semata, lalu (selama melaksanakan haji itu) dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan tidak berbuat fasik, niscaya dia kembali (dalam keadaan bersih dari dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya.“ (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya dari Abu Hurairah)
Secara tekstual, hadith tersebut mengibaratkan orang yang berhasil menunaikan ibadah haji sebagai hari yang dia baru saja dilahirkan oleh ibunya. Kalau dilihat dai sisi Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist, pemahaman kontekstualnya ialah bahwa bagi orang yang berhasil menunaikan ibadah haji, maka dia diampuni segala dosanya dan dimaafkan segala kesalahannya oleh Allah, sehingga dia seperti tatkala baru dilahirkan ibunya.
.3
  b.    Kapasitas Nabi saw. dalam kehidupan, baik itu sebagai Nabi dan Rasul, pemimpin Negara, seorang ayah, suami, teman, panglima perang dan sebagainya.
Sebagai contoh, hadith berikut.
"الائمة من قريش".
“Para imam (haruslah) dari Quraisy”
Menurut ibnu Khaldun seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi, ketika Nabi saw. menyatakan hadith ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraisy-lah yang memiliki kekuatan dan kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan atau pemerintahan.Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadith ini tidak menafikan jika suatu saat ada orang bukan dari suku Quraisy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka dia dapat diangkat menjadi pemimpin

Atau hadith Nabi saw. yang berbunyi :

"لايزال هذا الامر في قريش مابقي منهم اثنان".

“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpin), selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja”.

Jika hadith diatas dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw. maka dapat disimpulkan bahwa ketika hadith tersebut dinyatakan , Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari ketetapannya yang bersifat primordial, sangat mengutamakan kaum Quraisy.[4]
Jika dipahami secara tekstual, maka hadith ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Untuk itu dalam memahami hadith ini dalam Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist, kita perlu melihat konteksnya.Mengutamakan sebuah kaum dari yang lain bukanlah ajaran dasar dari agama Islam, maka bisa disimpulkan bahwa petunjuk hadith ini bersifat temporal.

  c.    Latar historis (asbab al-wurud), dan sasaran ditujukannya hadith.
Musthofa M Thoha memberikan contoh hadith sebagai berikut.
Hadist Nabi menyatakan:
لاًن يمتلئ جوف احدكم قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا (رواه البخاري)
“Lebih baik perutmu diisi nanah dari pada diisi syair (puisi).”

Apabila hadist di atas dipahami secara tekstual, maka hasilnya bahwa bersyair itu tidak boleh (haram). Dalam hadist tersebut Nabi mengungkapkan ketidaksenangannya terhadapa syair.
Hadist di atas mempunyai asbabul wurud. Pada suatu saat, Rasulullah mengadakan perjalanan dan berada di kota al ‘Arj, terletak sekitar 78 mil dari Madinah. Kota itu merupakan tempat pertemuan berbagai jurusan. Karenanya wajar bila budaya, antara lain yang berupa syair, bertemu di kota itu. Tiba-tiba di hadapan rasulullah, ada seorang yang mendeklamasikan suatu syair. Rasulullah lalu menyabdakan pernyataan sebagaimana yang dikutip hadist di atas.
Menurut al Nawawi, syair yang dibacakan oleh orang tersebut isinya tidak sopan dan melanggar asusila, atau mungkin karena penyairnya adalah orang kafir.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa hadist tersebut tidak harus diartikan secara tekstual, namun lebih pada pemaknaan yang tekstual, karena pada zaman sekarang para ulama’ sering menggunakan syair dan nadham dalam memberikan ajaran pokok-pokok islam. Dengan kalimat lain bahwa, Syair hanya boleh digunakan bila ia tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam.
                                                             
  d.   Illat tertentu yang menjadi pemahaman dari hadith Nabi saw dengan mempertimbangkan dimensi (asas) manfaat dan maslahat.

     Hadith tentang melukis yang bunyinya
اِنَّ اَشدَّالنَّاسِ عَذَابًا عِنْدَاللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَّوِّرُوْنَ
(رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن مسعود)
“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan yang paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak adalah pelukis.”

Secara tekstual hadith tersebut memberikan pengertian larangan untuk melukis, bahkan dalam hadith lain para pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya 

       Menurut Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist, larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam kepastianya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat islam telepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan.
Kalau illat al hukumnya demikian, maka pada saat umat islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajangnya diperbolehkan. Kaidah usul fiqih menyatakan, hukum itu ditentukan oleh ilatnya (latar belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila illatnya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.

DAFTAR BACAAAN

Zuhrah, “Teknik Interpretasi Hadis” http://zuhrah.blogspot.com/2010/03/teknik-interpretasi-hadis.html  (15-12-2013)
 Syaih Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Hadis Nabi SAW Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.
Rofiudin, “Memahami Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual” dalam http://abiquinsa.blogspot.com/2013/01/memahami-hadith-nabi-yang-tekstual-dan.html  (15-12-2013).
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir, cetakan keempat (Bandung: Penerbit Karisma, 1997).
Ibnu Hamzah. Asbabul Wurud(Jakarta : Kalam Mulia2008).
Syuhudi Ismail. Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994),6; dikutip oleh Zuhrah, “Teknik Interpretasi Hadith”
Musthofa M Thoha, “Memahami Hadist dengan Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologi” dalam dalam http://katabelantara.blogspot.com/2011/09/hermeneutika-hadist-memahami-hadist.html (15-12-2013).
Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim,. Asbabul Wurud Studi Kritik Hadith Nabi  Pendekatan Sosio Historis-Kontekstual(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001).
M.Saad Ibrahim. Menyaring Dimensi Tasyri’iyah Hadith.,



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANGGAPAN DASAR DAN HIPOTESIS

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI QURAN