STUDI HADITS DI KALANGAN ORIENTALIS
A. Pengertian Orientalisme
![]() |
Studi Hadits di Kalangan Orientalis |
Orientalisme (dengan penambahan kata isme yang berarti aliran, pendirian, ilmu, paham, keyakinan, dan sistem) secara etimologis, dapat diartikan sebagai illmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. Secara terminologis, Edward Said memberikan tiga pengertian dasar orientalisme, yaitu: (1) sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan bangsa-bangsa Timur berdasarkan tempat khusus Timur dan pengalaman Barat Eropa; (2) Sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontologi dan epistemologi Barat pada umumnya; dan (sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali, dan mempunyai kekuasaan terhadap Timur.[3]
Dalam perkembangannya, fokus utama kajian orientalis adalah agama Islam dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan faktor terbesar dari ketertarikan orientalis disamping gagasan, politik, dan theologi yang mewarnai kehidupan masa kini.[4]Dalam beberapa kajian, mereka melakukan di bawah proyek besar orientalis dengan menjelajahi dunia Timur. [5]
Dalam kajian-kajian orientalis dengan berbagai diskursus studi keislaman ini, sebenarnya bisa diberi pengertian bahwa mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyerang keyakinan umat Islam dan mendiskreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi Islam merupakan topeng an sich. Pengertian ini didasarkan pada peristiwa Perang Salib, dimana bangsa Barat mengalami kekalahan atas bangsa Timur dalam memperebutkan kawasan Palestina, tempat ziarah kaum Nasrani, yang di menangkan tentara Islam pimpinan Salahuddin al-Ayubi (1169-1193).[6]Dari sinilah, orientalis kemudian tertuju kepada penjajahan dunia Islam, dengan berkedok menggali dan mempelajari khazanah Islam, yang muara akhirnya hanyalah untuk menghancurkan Islam..
Studi hadits di Kalangan orientalis hal ini tak lepas dari kesadaran mereka, bahwa Islam tidak bisa diperangi secara fisik sehingga mereka lebih memilih pada perang fikir. Lalu mengapa hadith dijadikan salah satu sasaran empuk mereka, hal ini berawal dari persepsi mereka yang mengatakan bahwa agama yang paling benar adalah agama Yesus bukan Islam, sementara al-Qur’an yang dijadikan pegangan umat Islam bukanlah wahyu. Selanjutnya Muhammad dijadikan referensi, dengan mencari titik kelemahan Muhammad sebagai individu bukan sebagai wahyu atau utusan. Akhirnya, sebagai sumber otoritas kedua mereka-pun menelanjangi hadith, dalam kenyataannya mereka gagal menyerang dan meragukan al-Qur’an. Meminjam istilah Abdul Ra’uf, misi dari orientalis ini adalah penghancuran tradisi (destructio of the tradition)[7]
Pror. Dr. Ali Husni al-Kharbuthli, Guru besar di ‘ain Syams dalam Bukunya al-Mustasyiqun wat-Tarikhul Islami kaum Orientalis dan sejarah Islam menerangkan bahwa motif orientalisme mempelajari Islam adalah sebagai berikut;
1. Untuk kepentingan penyebaran agama Kristen
2. Untuk kepentingan penjajahan
3. Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan semata.
Dr. Mukti Ali, membagi orientalisme menjadi tiga periode:
1. Periode pertama, Memandang Islam dengan segala aspeknya dengan pangdangan jijik, permusuhan dan benci. Hal ini dapat dijumpai dalam buku orientalis tentang Islam yang ditulis sejak perang salib (Abad IX-XIV) hingga lahirnya Thomas Carlyle (1979-1851), dengan bukunya Heroes and Herois Worship.
2. Periode Kedua; dunia orientalis memandang Islam dengan segala aspeknya, dengan pandangan yang bimbang dan confution mengenai kebenaran-kebenaran yang terkandung didalamnya.
3. Periode ketiga; orientalisme menghampiri Islam dengan segala aspeknya dengan penghampiran ilmiah, tetapi mempelajari agama. Cinta pada obyek yang diselidiki. Cinta inilah yang cukup sukar terdapat pada kaum orientalis katolik. Dapat diketemukan disini yaitu Prof. Duncan Black McDonald dalam ceramahnya dalam Universitas Cikago (1960) mengatakan bahwa patologi dari nabi muhammad harus diselidiki untuk mendapat kepastian apakah muhammad itu waras atau tidak, jiwa muhammad sakit atau tidak. Juga Prof. H. A. R Gibb, salah seorang orientalis terbesar di benua Amerika dan Kanada, jiwa muhammad harus diselidiki mereka menganggap perlu ada penyelidikan terhadap jiwa dan Rasulnya umat Islam.[8]
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud studi hadits di kalangan orientalis pada pembahasan ini adalah orang-orang Barat non-Muslim yang melakukan kajian terhadap hadis Nabi yang diyakini oleh umat Islam sebagai dasar penetapan hukum.
B. Kajian Orientalis Terhadap Hadits
Menurut M. Musthafa Azami, studi hadits di kalangan orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Horngaria (1850-1920 M) melalui karyanya berjudul: Muhamedanische Studienpada tahun 1980 yang berisi pandangannya tentang hadis. Pendapat ini dibantah oleh A. J. Wensinck bahwa orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje yang menerbitkan bukunya: Revre Coloniale Internationale tahun 1886. Jika pendapat ini benar, maka karya Hurgronje terbit empat tahun lebih dahulu dari karya Goldziher.
Selanjutnya, studi hadits di kalangan orientalis dilanjutkan oleh Hamilton Alexander Roskeen Gibb, seorang orientalis asal Inggris (1895 -1971) melalui karyanya Mohammedanism dan Shorter Enscyclopaedia of Islam, dilanjutkan oleh Joseph Schacht seorang orientalis berkebangsaan Polandia (1902-1969) melalui karyanya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, GHA. Joynboll dengan bukunya Muslim Tradition, Studies in Chronology, Provenance, and Autorship of Early Hadith, Bernard G. Weiss, dengan bukunya The Search for God’s Law, serta masih banyak nama-nama lain seperti W. Montgomery Watt, Von Guerboum, Arberry, Jeffre, Ira Lapidus, dan John L. Esposito.[9]
Banyak cendikiawan non-muslim dan kaum muslim modernis skeptis terhadap hadist dan menganggap sebagian besar hadist tersebut tidak otentik. Mereka mencatat pada periode awal hadist jarang digunakan untuk menetapkan hukum dan bahwa pada paruh kedua paruh kedelapan ketika hadist mulai diambil untuk tujuan ini, hadist sering kali diberikan dengan isnad yang tidak lengkap. Karenannya mereka menyatakan bahwa ahli hukum pada masa awal berstandart pada alasan individual; yang menjadi penolong bagi putusan yang dinyatakan oleh para sahabat yang datang kemudian; dan bahwa penekanan pada pentingnya hadis-hadis datang kemudian. (Robinson, 1999: 138)
studi hadits di kalangan orientalis, dalam pendapat mereka, Risalah Asy-Syafi’i (w. 820) menandai titik pergantian. Sebelum karya tersebut belum ditulis, para kaum muslim berasumsi bahwa peringatan al-Qur’an untuk mematuhi nabi ditunjuk terutama untuk orang-orang dimasa nabi Muhammad dan diterapkan pada situasi-situasi khusus selama hidupnya. Tetapi Asy-Syafi’i menunjukkan hirarki sumber hukum yang teliti, dan kerenanya menyusun teks-teks tersebut sebagai bukti bahwa al-Qur’an sendiri mengindikasikan bahwa hadist harus dianggap sebagai yang berwenang. Setelah pendapat Asy-Syafi’i mendapat penerimaan yang luas. Koleksi hadis-hadis tertentu dikumpulkan dan lebih banyak perhatian diberikan kepada isnad. Karena itu para skeptis menyimpulkan bahwa, kemungkinannya banyak hadis-hadis disusun pada abad ke delapan dan kesembilan oleh para ahli hukum yang ingin menjastifikasi pendapat-pendapat mereka yang mengembalikannya ke masa nabi.
Ada pula orientalis yang memiliki pandangan yang lebih jernih dan bertentangan dengan Goldziher dan Schacht. Freeland Abbott misalnya, dalam bukunya Islam and Pakistan, ia membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar: (1) Hadis yang menggambarkan kehidupan Nabi secara umum, (2) Hadis yang dipermasalahkan karena hadis-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi; dan (3) hadis yang menceritakan wahyu yang diterima oleh Nabi.[10]
Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini jauh berbeda dengan klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia mengakui bahwa hadis benar-benar bersumber dari Nabi. Dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi pergeseran pendapat tentang hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Hurgronje, Goldziher dan Schacht, namun ada pula yang bertentangan dengan mereka dalam memandang Islam umumnya dan hadis khususnya.[11]
Perbedaan pandangan ini tidak terlepas dari motivasi dan sikap para orientalis dalam mengkaji Islam. Lebih khusus lagi tentang hadis, ini dipengaruhi oleh sikap dan pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad saw. Karena bagaimanapun menyoal tentang hadis jelas akan berkaitan dengan perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad saw.
Dalam konteks ini, pencitraan Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dari dua sisi. Satu sisi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan rasul yang telah membebaskan manusia dari kezaliman, di sisi lain Muhammad dipandang sebagai seorang Paganis, penganut Kristen dan Yahudi yang murtad yang akan menghancurkan ajaran Kristen dan Yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seorang tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pandangan pertama dikemukakan oleh De Doulavilliers dan Savary. Sedangkan pendapat kedua, inilah yang diusung oleh D’Herbelot, Dante Alighieri, Washington Irving, Hamilton Gibb, Goldziher dan Joseph Schacht. Sehingga, jumlah orientalis yang mencela hadis lebih besar dari pada yang mengakui ekksistensi hadis.
Soal studi hadits di kalangan orientalis, Edward Said dalam bukunya Orientalism, mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, (tanpa berorientasi keuntungan) artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam.
Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis daripada al Quran, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Menurut Sa’d al-Marshafi, sebagian orientalis berpandangan skeptis terhadap keberadaan dan autentisitas hadis Nabi.[12] Sebab menurut studi hadits di Kalangan orientalis, pada masa-masa awal pertumbuhan Islam, hadis tidak tercatat dengan baik seperti halnya al Quran. Sehingga, mungkin saja banyak hadis yang dipertanyakan autentisitasnya atau sama sekali diragukan keberadaannya, bahkan semua hadis terutama yang berkaitan dengan hukum dikatakan sebagai hasil karya sahabat, tabi’in, atau para ulama dan fuqaha’ pada abad pertama Hijriah, dan permulaan abad kedua H.
Mengenai studi hadits di kalangan orientalis Menurut pandangan kebanyakan orientalis, hadis merupakan karya ulama dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multidimenasional. Mereka beranggapanan bahwa hadis tidak lebih dari sekedar ungkapan manusia, atau jiplakan ajaran Yahudi dan Kristen saja.
Baca juga:
(Kritik Abu Royyan Terhadap Abu Hurairah)
(Kutubus Sittah)
(Sanad Hadits)
Baca juga:
(Kritik Abu Royyan Terhadap Abu Hurairah)
(Kutubus Sittah)
(Sanad Hadits)
1. Kritik Ignaz Goldziher terhadap Hadis dan Ulama Hadis
Salah satu toko studi hadits di kalangan orientalis adalah Ignaz Goldziher dia adalah seorang orientalis berkebangsaan Hongaria, lahir di Szekesfehervar pada 22 Juni 1850, di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi Goldziher memiliki intelektual yang tinggi, dalam usia 12 tahun dia telah menulis buku Piyyuts yang berisi asal usul dan waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi. Dalam usia 16 tahun dia mengikuti kuliah di Universitas Budapest, tahun 1868 dia dikirim ke Jerman untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin dengan H.L Fielscher dan G.Ebers di Leipzig. Dia berhasil memproleh gelar Doktor dalam usia 19 tahun.[13]
Setelah mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan Wina, tahun 1871 dia diangkat menjadi dosen privat di Budapest. Atas biaya pemerintah Hongaria, tahun 1873 sampai tahun 1874, Goldzehar melakukan perjalanan ke Timur dan belajar di Universitas al-Azhar Kairo, Syiria dan Palestina. Pada tahun 1904 Goldziher diangkat menjadi guru besar di Universitas Budapest sampai akhirnya ia meninggal 13 Nopember 1921.[14]
Hasil penelitiannya dalam bidang keislaman banyak yang dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis, bahkan ada yang dipublikasikan dalam bahas Arab.
Di antara kritikan Goldziher terhadap hadis adalah:
a. Bagian terbesar dari hadis yang dikatakan bersumber dari Nabi adalah tidak benar. Catatan-catatan itu hanya merupakan jerih payah umat Islam pada masa keemasan sebagai dokumen atas kemajuan yang dicapai di bidang agam, sejarah dan sosial. Pada saat sesudahnya terjadi ketegangan antara Dinasti Umawiyyah dengan Ahlul Bait di Madinah. Mereka ini memerangi kelompok pemberontak Umawiyyah dengan membuat hadis sebanyak-banyaknya yang memojokkan dinasti pengacau. Sebaliknya Umawiyyah pun melakukan hal yang sama.
b. Tokoh hadis Ibnu Syihab al-Zuhri merupakan orang yang diperalat atau dimanfaatkan oleh Khalifah Umawiyyah, Abdul Malik bin Marwan, untuk membuat hadis palsu yang secara politik, berpihak kepada penguasa Umawiyyah. Misalnya hadi yang dibuat oleh Al Zuhri berikut:
لا تشد الرجال إلا على ثلاثة مساجد
“Janganlah kamu melakukan perjalanan kecuali menuju tiga mesjid: Masjidil Haram, Masjidku (Nabawi) dan Masjid Baitul Maqdis (Al-aqsha)” (HR. Al-Bukhari)
Menurut Goldziher, hadis ini dibuat-buat oleh al-Zuhri sebagai pesanan Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk memperkuat kekuasaannya dengan mengatakan bahwa haji tidak hanya dilakukan di Mesjidil Haram, tapi juga di Mesjid Al aqsha, Yerussalem. Abdul Malik khawatir kalau orang-orang Syiria pergi haji ke Mekkah akan membaiat Abdullah bin Juber sebagai khalifah yang saat itu menjadi lawan politik dan melakukan pemberontakan kepada Abdul Malik. Tuduhan Goldziher ini didasarkan kepada kenyataan bahwa Al Zuhri dan Abdul Malik adalah teman baik, dan tergolong ulama yang dekat dengan penguasa.
c. Goldziher tidak percaya kebenaran metodologi dan cara penulisan atau pembukuan hadis oleh ulama sudah dilakukan sejak abad kedua Hijriyah oleh Umar bin Abdul Aziz. Alasannya adalah bahwa sumber hadisnya ditemukan dari hafalan, sebab hadis tidak ditulis pada masa Rasul dan sahabat. Ia tidak percaya keakuratan hafalan sahabat.[15]
2. Kritik Joseph Schacht
Studi hadits di kalangan orientalis lainya yakni pada tahun 1950 muncul karya baru yang melanjutkan kerangka dasar penelitiah Goldziher yaitu Joseph Schacht(selanjutnya disebut Schacht) adalah seorang orientalis Jerman spesialis dalam kajian fiqih/hukum Islam., lahir pada tanggal 15 Maret 1902 di kota Rottbur. Schacht memulai studi perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahsa-bahasa timur di Universitas Prusla dan Leipzig. Termasuk pakar yang cukup produktif. Selain dikenal sebagai pakar fiqih, Schacht juga banyak menulis dalam bidang kajian lain, seperti teologi, sejarah ilmu pengetahuan, filsafat di dunia Islam, serta kajian tentang manuskrip-manuskrip Arab (Badawi, 2003: 270-274).
Era modern, yakni sejak abad ke-19 merupkan periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai mendapati dirinya dihadapkan pada berbagai tantangan serius, melalui imperealisme, pengaruh peradaban barat terhadap timur, terutama dunia Islam sangat kuat. Sebagai akibatnya, beberapa aspek ajaran Islam dipertaanyakan, diantaranya adalah otentisitas Hadis dan Hukum Islam. (minhaji, 2001: 16)
Tahun 1923, ia memperoleh gelar Doktor dari Universitas Berslauw dalam usia yang cukup muda yaitu 21 tahun. Pada tahun 1947, ia menjadi warga negara Inggris. Di Inggris, ia belajar kembali di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford dan meraih gelar Magister tahun 1948 dan Doktor tahun 1952. Dan pada tahun 1954 ia meningalkan Inggris dan mengajar di Universitas Leiden negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959.[16]
Joseph Schacht dalam studi hadits di Kalangan orientalis memiliki beberapa bidang kajian, tetapi yang lebih menonjol di bidang hukum dengan karyanya yang berjudul, “The Origin Muhammad Yurisprudence” yang terbit tahun 1960. Kritikan yang disampaikannya melalui buku ini adalah bahwa isnad atau pemakaian sanad pada hadis merupakan tindakan yang tidak akademis karena dibuat berdasarkan kemauan belaka. Menurutnya, berdasarkan penelitiannya terhadap kitab al Muwattha’ Imam Malik, al-Muwattha’ Syaiban dan al-Umm Imam Syafi’i, tidak ditemukan sanad pada ketiga buku tersebut, padahal buku-buku tersebut adalah rujukan bagi peneliti hukum dan hadis.
Menurutnya, Asy-Syafi’i merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunah sebagai model perilaku nabi atau sunah nabi, yang identik dengan tradisi Nabi, (Hadis atau dokumen sunah). Selanjutnya Schacht mengemukakan bahwa bagi generasi-generasi sebelum Asy-Syafi’i, sunah mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan praktek biasa atau disepakati secara umum. (Schacht, 1959: 58)
Schacht mencontohkan pemalsuan sanad dalam kitab “al-Muwwatta” ada hadis yang putus sanadnya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa umar bin Khattab ketika berada dimimbar pada waktu khutbah jum’at, beliau membaca ayat sajdah (ayat yang dimana pembaca atau pendengarnya disunahkan sujud). Maka lalu beliau turn dari mimbar dan sujud, kemudian orang ikut sujud juga. Pada hari jum’at yang lain beliau juga membaca ayat seperti itu, sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika beliau melihat hal itu lalu berkata; tenanglah karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat sajdah kecuali apabila kita mau. Dan beliau pun mencegah mereka bersujud. (al-muwwatta)
Kata Schacht; dalam kitab al-Bukhary terdapat sanad lain yang bersambung. Dan dalam satu naskah kuno, kitab al-Muwwatta terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar, dan kata-kata ini tidak pernah diucapkan Urwah, hanya dianggap bahwa hal itu ucapannya. Dan kenyataanya teks asli kitab al-Muwwatta’. Maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa pembuatan teks hadis itu sudah ada lebih dahulu, kemudian baru dibuatkan sanadnya bersama teks tersebut secara palsu. Kenudian sanad itu dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa, sehingga hadis itu disebut sebagai berasal dari masa silam. (Schacht) menyebutkan kitab tersebut tidak ada dasarnya sama sekali.[17]
Schacht selanjutnya mengatakan bahwa tujuan Muhammad adalahbukan menciptakan hukum baru, tujuannya adalah mengajarkan kepada manusia bagaimana bertindak, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus dihindari supaya lolos dari perhitungan dihari kiamat dan agar masuk surga. Inilah mengapa Islam pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya merupakan sebuah sistem kewajiban (ritual, hukum, moral) di atas dasar yang sama dan membawa mereka semua di bawah otoritas keagamaan yang sama. Apakah ukuran-ukuran keagamaan dan etika telah diharapkan secara menyeluruh pada semua pada aspek semua perilaku manusia, dan apakah mereka telah mengikuti secara konsisten dalam praktek, tidak akan ada ruangan dan kebutuhan bagi sistem hukum dalam arti sempit makna hukum itu. [18]
Sebagaimana telah disinggung diatas, gugatan Schacht terhadap hadis berkisar pada masalah isnad dan hampir semua hadis tidak ada yang otentik. Bahkan bukan hanya kebanyakan hadis adalah palsu nyaris mustahil untuk diketahui, jika mengandalkan sumber-sumber sejarah Islam itu sendiri. Meskipun sudah banyak dikritis, teori Schacht masih banyak diadopsi dan dikembangkan diantarany oleh Junboll. Tidak hanya pendekatan kesimpulan orientalis Belanda ini pun tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Schacht. (Arif, 2008: 34)
Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad hadis pada mulanya muncul daam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga Hijriah.[19]
Teori ini berawal dari pemahaman Schacht terhadap perkembangan hadis sejalan dengan perkembangan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para Qadhi pada masa Dinasti Umayyah, sekitar abad pertama H. Untuk menguatkan putusannya, para qadhi menyandarkan putusan itu kepada tokoh-tokoh yang mempunyai otoritas. Penyandaran itu pun tidak hanya sampai kepada generasi di atas mereka saja, melainkan sampai pada tahapan sahabat bahkan Nabi.
Tindakan ini melahirkan kelompok oposisi yang terdiri dari para ahli hadis. Pokok pikiran para ahli hadis ini adalah bahwa hadis-hadis yang disertai dengan sanad yang mereka sandarkan kepada tokoh-tokoh sebelum mereka hingga akhirnya juga bermuara kepada Nabi. Proses penyandaran inilah yang kemudian dikenal dengan istilah projecting back (proyeksi ke belakang). Berdasar pemahaman inilai, maka Schacht berkesimpulan bahwa baik kelompok fiqh klasik maupun kelompok hadis sama-sama memalsukan hadis, oleh karenanya tidak ada hadis yang benar-benar berasal dari Nabi tetapi merupakan produk yang lahir dari persaingan antara para ulama.[20]
C. Bantahan dan Kritik Balik Ulama Muslim terhadap Kritik Studi Hadits di Kalangan Orientalis
Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas hadis banyak mendapat jawaban dari ulama hadis, sebagai upaya meluruskan kritik dan tuduhan tersebut.
Di antara ulama yang melakukan kritik dan koreksi terhadap Studi hadits di kalangan orientalis tersebut adalah Musthafa al-Siba’i, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Shubhi al-Shalih dan Muhammad Musthafa Azami.
Terkait dengan tuduhan mereka tentang adanya larangan penulisan hadis oleh Nabi dan tidak adanya peninggalan tertulis, Shubhi Al-Shalih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan secara umum pada masa awal turunnya wahyu al-Quran karena Nabi khawatir hadis tercampur dengan Al Quran. Tetapi setelah sebagian besar Al Quran diturunkan, maka Nabi memberikan izin penulisan hadis secara umum kepada para sahabat. Kenyataan ini diperkuat dengan dikemukakannya catatan-catatan hadis pada masa Nabi seperti catatan Sa’id ibn ‘Ubaddah, Samrah ibn Jundub (w. 60 H), Jabir ibn ‘Abd Allah (w. 78 H), ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn al – Ash (w. 65 H), dan ‘Abd Allah ibn al-Abbas (w. 69 H).
Menurut Studi hadits di kalangan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa umat Islam abad pertama, kedua, dan ketiga Hijriah, oleh Musthafa Azami dibantah sebagai berikut.
1. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa Nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majelis Nabi untuk menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir.
2. Mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun keempat puluh tahun Hijriah yang dipicu oleh persoalan politik, karena di antara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadis untuk kepentingan politik atau golongan mereka.
3. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah.
4. Teori projecting back (al-qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis.
5. Tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti membuat marfu’hadis yang mawquf [21] atau menjadikan muttashil hadis yang mursal.
Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah.
6. Penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis, dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.[22]
Dalam kaitannya dengan tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri terhadap hadis: لا تشد الرجال إلا على ثلاثة مساجد(janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga mesjid) menurut Azami, tidak ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri. Kelahiran al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H dan 58 H, dan ia tidak pernah bertemu dengan ‘Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H.
Di sisi lain, pada tahun 68 H, orang-orang dinasti Umayyyah berada di Mekkah menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah (Malik ibn Marwan), dan pembangunan Qubbah al-Sakhrah dimulai tahun 69 H (saat itu al-Zuhri berumur antara 10-18 tahun), dan baru selesai tahun 72 H.
Karena itu, tidak mungkin ‘Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam berhaji dari Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sampai 18 tahun.[23] Menurut Musthafa Azami, teori Scacht tentang projecting back itu dijawab dengan penjelasan, bahwa fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Fiqh adalah ijtihady. Oleh sebab itu, sulit menerima pendapat Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat pengangkatan qadhi pada masa Dinasti Umayyah.
Sedangkan menurut Fazlur Rahman terdapat dua keberatan terhadap konsep sunnah dari para orientalis di atas, yaitu keberatan logika dan historis [24]Pertama; Keberatan logikanya adalah berkaitan dengan pendapat Goldziher yang menganggap sunnah di satu sisi sebagai “praktek normatif” dari masyarakat muslim awal dan pada sisi lain ia dianggap sebagai “praktek yang hidup serta aktual”. Kedua; keberatan historisnya adalah “Nabi tidak meninggalkan warisan apapun selain al-Qur’an”. Keberatan ini dijawab oleh Rahman dengan menunjukkan kesalahan mereka terhadap pemahaman konsepsi sunnah.
Rahman keberatan dengan tesis Goldziher yang mengartikan sunnah sebagai “praktek normatif” masyarakat muslim awal dan sekaligus sebagai praktek yang hidup serta aktual. Konsep tersebut menurut Rahman, tidak benar karena yang normatif dan yang aktual adalah saling bertentangan. Bahkan beberapa penulis modern dari kalangan orientalis menganggap bahwa sampai abad II H/VIII M istilah sunnah tidak berarti praktek Nabi, melainkan praktek masyarakat lokal kaum muslimin Madinah dan Iraq. [25]
[3]Hasan Hanafi, Orientalisme, (Jakarta; Pustaka Al-Husna, 1981), h. 9
[4]Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1996), 97
[5] M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jld. 4 (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002), h. 59. Bandingkan dengan Muhammad Fathullah al-Zayadi, al-Istisyraq, 25.
[6] Hendro Prasetyo, “Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya,” dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 101.
[7]Ibid, 101.
[8]Anshari, Endang Saefudin, Wawasan Islam: pokok-pokok pemikiran dan paradigma dan sistem Islam,( Jakarta: Gema Insani Press, 2004.) , 252-254.
[10]Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik, terj. (Jakarta: Raja Grafindo Peersada, 1997) h. 175
[12]Sa’ad al-murshafi, al-Musytaasyriqun wa al-Sunnah, (Kuwait: Maktabah al Manar al-Islamiyah, 1994), h. 19
[13]Wahyudin Darmalaksana, h.91
[15] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Mekkah: al maktabah al-Tijariyah, 1980) h. 376
[16]Wahyudin L,.109
[17] Azami, M. M., Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994, 566-567)
[18]Akhmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001, 20.
[19] Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence, (Oxford: University Press, 1975) h. 163, dalam Idri, h. 314
[21]Hadis marfu’ : perkataan, perbuatan, ketetapan yang disandarkan kepada Nabi. Hadis mawquf: perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada sahabat. Dalam Mahmud Thahan, Taisir mushthalahal hadits, (tt. Tp. 1985), h. 128
[24]Fazlur,Islam , 55-56
[25]Ibid, 74
Komentar
Posting Komentar