Pemikiran Filsafat pendidikan Islam


Pemikiran Filsafat pendidikan Islam
Pemikiran Filsafat pendidikan Islam
Para ahli filsafat pendidikan menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung pada pandangan terhadap manusia, hakikat, sifat-sifat atau karakteristik, dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan tujuan pendidikan bergantung pada hidup manusia itu sendiri. apakah manusia dilihat dari kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa, dan roh,atau jasmani dan rohani? apakah manusia pada hakikatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan (domain) dalam perkembangan manusia? bagaimana kedudukan manusia dalam masyarakat? apakah tujuan hidup dari manusia? apakah manusia hanya dianggap hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup kembali di hari kemudian (akhirat)?[1]

Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya,  akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, serta akhlak dan keterampilannya. Pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalamkeadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[2]Menurut DR. Mohammad Natsir, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya, maksud pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan sesungguhnya.[3]
Pemikiran Filsafat pendidikan Islam dimulai pada periode kehidupan Rasul S.A.W. Pada periode ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-Quran dan hadits secara murni. Maka, segala hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran Al-Quran yang diteladani oleh masyarakat dari sikap dan perilaku hidup Nabi SAW.
Pemikiran Filsafat pendidikan Islam dimulai pada periode awal perkembangan islam merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Quran dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi Islam. Pemikiran pendidikan berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehendaki oleh Islam. Dengan demikian, pemikiran mengenai pendidikan yang kita lihat dalam Al-Quran dan Hadits mendapatkan nilai ilmiahnya.[4] Dengan kata lain, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Quran dan hadits, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti yang digambarkan oleh Islam.
Selanjutnya, Pemikiran Filsafat pendidikan Islam pada awal periode kejayaan pendidikan islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah Bani Abbasiyah, dimana kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang seperti politik, pemerintahan, ilmu pengetahuan, sastra, arsitektur dan ekonomi, sehingga memungkinkan negara-negara Islam untuk mengembangkan diri, seiring perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam dan terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan.[5]
Pada masa kejayaan ini Pemikiran Filsafat pendidikan Islam tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat serta waktu. Beberapa karya ilmuan Muslim pada periode ini,yang karya-karyanya secara langsung memuat pembahasan mengenai pendidikan, diataranya: pertama, Ibn Qutaybah (213-276 H), yaitu Abu Muhammad, Abdullah Ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri al-Marwazi, dilahirkan di Kufah tahun 213 H, dan meninggal dalam usia 63 tahun (276 H).[6]Walaupun sebagai seorang keturunan Parsi, sebagian besar usianya dihabiskan di Baghdad dan belajar berbagai disiplin ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di zamannya seperti Abu al-Fadl al-Rayyani, Ishaq Ibn Rahawiyah al-Mahruzi al-Nasaiburi dan Abu Hatim. Menurut Imam Sayuti, Ibn Qutaibah dikenal sebagai seorang ilmuan dalam bahasa Arab dan sejarah. Selain itu ia dikenal sebagai ilmuwan yang produktif. Pemikiran Ibn Qutaybah dalam pendidikan islam adalah tentang masalah pendidikan bagi kaum wanita, ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilai bagi yang mengembangkannya
Kedua adalah  Abu Sa’id Sahnun Ibn Habib al-Tanubi lahir di kairawan sekitar tahun 160 H. Kemudian menuntut ilmu di Mesir, Hijaz dan Syam. Karya ilmuwan ini dibidang pendidikan kurang dikenal, karena ilmuwan yang kemudian lebih dikenal adalah Muhammad Ibn Sahnun al- Tanubi yang juga berasal dari Kairawan, yang lahir pada tahun 202 H. Ibn Sahnun merupakan pemikir yang mempelopori pembaharuan pendidikan di zaman keemasan Islam. Muhammad Ibn Sahnun adalah pencetus pemikiran pendidikan yang lepas dari keterkaitannya dengan sastra dan madzab-madzab pemikiran falsafat, sehingga menampakkan kepemikiran pendidikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri. Pemikiran pendidikan beliau meliputi proses belajar dan mengajar alqur’an dan praktek kegamaan wajib diberlakukan sejak dini guna keefektifan, sementara bahan ajar selain alqur’an dan praktek keagamaan tidak diwajibkan, diantaranya seperti sejarah bangsa Arab, pidato dan berhitung. Guru digaji guna loyalitas dan totalitas dalam mengajar. Penerapan aturan memberi hukuman terhadap peserta didik meliputi hukuman badan bagi peserta didik yang salah dalam belajar Al-Qur’an dengan izin orang tua dan dibatasi maksimal tiga kali pukulan rotan.[7]
Buku karangannya mengenai pendidikan tingkat dasar, berjudul Adab al-Mu’allim, yang merupakan karya pertamanya. Dengan demikian Muhammad Ibn Sahnun dapat digolongkan menjadi pencetus pemikiran kependidikan islam di zaman klasik.
Ketiga adalah al Farabi, Abu Nashr al Farabi.[8] Pemikiran al Farabi dalam pendidikan adalah pengajaran dimulai dengan memperbaiki akhlak, karena ilmu yang baik tidak mungkin dipelajari oleh orang berkepribadian buruk. Al farabi mendasari pemikirannya dengan pendapat plato, yaitu Sesungguhnya orang yang tidak bersih dan suci tidak akan dekat dengan orang yang bersih dan suci.
Menurut al-Farabi, pendidikan keteladanan dipergunakan dalam mendidik orang jahat. Sedangkan mendidik orang bodoh melalui pengajaran hal-hal yang praktis secara disiplin dan terus menerus. Jadi, perbaikan akhak melalui perbuatan dan keteladanan dan tidak cukup dengan menggunakan perkataan. Maksudnya, langkah awal yang dilakukan dalam proses pendidikan adalahmemperbaiki akhlak yang praktis, kemudian memperbaiki akhlak  atau etika beberapa wawasannya. Itulah Pemikiran Filsafat pendidikan Islam prespektif al-farabi
Keempat adalah  Ibn Maskawayh (330-421 H), yaitu Abu ali Ibn maskawayh, yang dilahirkan di Ray tahun 330 H/940 M. Karya tulis Ibn maskawaih seluruhnya berjumlah 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan masalah kejiwaan dan akhlak. Salah satu dari karya Ibn Maskawaih yang memuat Pemikiran Filsafat pendidikan Islam terdapat dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq (pendidikan Akhlak). Beliau juga berpendapat bahwa penulisan sejarah harus didasarkan atas kajian yang bersifat ilmiah dan filosofis. Menurut pandangan beliau, manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan dari sebuah realita bahwa manusia memiliki daya pikir.
Dan berdasarkan daya pikir yang dimiliki, manusia harus dapat membedakan antara sesuatu yang benar dan yang salah, serta sesuatu yang baik dan yang buruk. Adapun manusia yang paling sempurna kemanusiannya adalah mereka yang paling benar berfikirnya serta yang paling mulia usaha dan perbuatannya. Ibn Maskawayh berpendapat bahwa untuk menunjukkan kebaikan, manusia harus membina kerjasama. Adapun usaha untuk melakukan kebaikan merupakan sebuah indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri. 
Kelima adalah  Ibn Sina (370-428 H),  Abu Ali al-Husayn Ibn Abdullah Ibn al Hasan Ibn Ali Ibn Sina, lahir di Bukhara tahun 370 H/980 M). Ia dianggap sebagai orang yang cerdas, karena diusia yang sangat muda (17 tahun) Ibn Sina telah dikenal sebagai filosof dan dokter termuka dan tokoh yang luar biasa di Bukhara. Selain sebagai seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi wazir, menteri.[9]
 Sebagai ilmuwan, Ibn sina telah berhasil mennyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah al-Syifa’ yang berupa ensiklopodi tentang fisika, logika dan matematika, dan al-Qanun al-Tibb adalah sebuah ensiklopodi kedokteran.
Keenam adalah  Al-Ghazali (450-505H/1058-1111M), sang Hujjah Islam, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thusia di daerah Khurasan (persia), pada tahun 450H/1058 M. [10]
 Sejak kecil, al-Gazali dikenal sebagai anak yang sangat senang dengan ilmu pengetahuan. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak, beliau telah belajar kepada sejumlah guru di kota kelahiranya, antara lain Ahmad Ibn muhammad al-Radzikani. Selain itu beliau juga tak segan belajar kepada guru yang jauh dari kota kelahirannya. 
Baca juga:
pemikiran pendidikan ibnu khaldun.
 pemikiran pendidikan Ikhwan as-shafa.
pengertian, hubungan dan sumber filsafat pendidikan Islam.
Melihat kemampuan dan kecerdasan al-Gazali, al-Juwaini(Imam al-Haramain), guru beliau sewaktu menuntut ilmu di Naisabur, memberinya gelar bahrun mughriq, yang berarti laut yang menenggelamkan. Al-Gazali baru meninggalkan Naisabur setelah wafatnya Imam al-Juwaini tahun 1085 M(478 H). Dari Naisabur al-Ghazali menuju Baghdad yang kemudian menjadi guru besar di universitas yang didirikan Nidham al-Mulk, seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai guru besar, ternyata al-Gazali yang kreatif ini sempat mengarang sejumlah buku ilmu pengetahuan, antara lain Al-Basith,Al-Wajiz.Khulashah Ilmi Fiqh, Al-Munqil fi Ilm Al-Jadal, Ma’khaz Al-Kalaf, Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz dan Mamadi’ wa Al-Ghayat fi Fan Al-Khalaf.
Menurut al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari kedua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama,yaitu proses, al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyah, yang diperoleh manusia melalui penginderaan (alat indera), ilmu aqliyah, yang diperoleh melalui kegiatan berpikir (akal), dan ilmu  ladunni, yang diperoleh langsung dari Allah, tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran (nalar), melainkan melalui hati dalam bentuk ilham. [11] Pemikiran Filsafat pendidikan Islam menurut al-Gazali adalah mengeluarkan akhlak yang buruk dan menanam akhlak yang baik.[12] Maksudnya, proses belajar bisa membantu perbaikan akhlak peserta didik, karena merujuk pada tujuan pendidikan, yaitu mendekatkan diri pada Allah SWT.
Pemikiran Filsafat pendidikan Islam
Pemikiran Filsafat pendidikan Islam

Pemikiran Filsafat pendidikan Islam

Pemikiran Filsafat pendidikan Islam selanjutnya adalah periode pembaharuan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak pendudukan mesir oleh Napoleon pada akhir abad ke-18M sampai sekarang. Pada umumnya, kebangkitan kembali umat Islam pada bidang pendidikan khususnya bertujuan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam yang bersumberkan pada Al-Qur’an, Hadits dan membuang segala bid’ah serta membuka kembali pintu ijtihad, yang telah ditutup pada periode kemunduran Islam.[13] Dengan kata lain, kembali pada ajaran islam yang murni merupakan sebuah usaha pembaharuan pendidikan, yang timbul atas kesadaran kaum muslim akan kelemahan dan ketertinggalan mereka dengan kemajuan-kemajuan bangsa Eropa.
Diantara tokoh-tokoh Muslim yang melakukan usaha pembaharuan khususnya dalam bidang Pemikiran Filsafat pendidikan Islam adalah: pertama, Muhammad Ali Pasya(1765-1848M). Beliau adalah seorang perwira Turki yang dapat merebut lagi kekuasaan daerah Mesir, setelah perginya tentara Perancis kembali ke Eropa.[14]
Muhammad Ali Pasya memperbaharui Mesir dengan mendirikan sekolah militer, sekolah-sekolah dan mengirim pemuda-pemuda mesir belajar ke Eropa. Hal ini didadasari oleh karena Beliau berkeyakinan sama dengan para raja islam lain, bahwa ketinggian dan kemajuan Eropa didasari oleh kekuatan militernya.[15]
Kedua adalah   Rifa’at Badawi Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873M). Al-Thahthawi seorang pemikir pendidikan Mesir, yang dilahirkan dikota Thahtha (Mesir bagian selatan) tahun 1801. Ayahnya masih mempunyai hubungungan keturunan Husein cucu Muhammad SAW. Sebagai anak yang cemerlang, al-Thahthawi kemudian berhasil menamatkan pendidikannya di al-Azhar. Dan setelah tamat berturut-turut ia mengembangkan karir kependidikannya sebagai tenaga pengajar di al-Azhar, dan tahun 1824 menjadi imam tentara. Kedudukannya sebagai imam tentara ini pula kemudian yang membawa ia untuk belajar diperancis atas biaya Muhammad Ali. Itulah Pemikiran Filsafat pendidikan Islam menurut Rifa’at Badawi.
Selama belajar di perancis al-Thahthawi berusaha melengkapi wawasan ilmiahnya dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan seoerti sejarah, teknik, ilmu bumi, politik dan lain-lain. Selain itu ia juga sempat menerjemahkan sebanyak 12 buku dan risalah, antara lain risalah tentang sejarah Alexander Macedonia, buku-buku mengenai pertambangan, mengenai akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, mengenai ilmu bumi, risalah mengenai teknik, mengenai hak-hak manusia, tentang kesehatan dan sebagainya.[16]
 Adapun ide-ide dan Pemikiran Filsafat pendidikan Islam ditulis dalam sebuah buku al-Mursyid al-Amin Lil Banati wa al-Banin (pedoman bagi pendidikan putra dan putri). Di dalam buku ini dapat dilihat tentang pemikiran Thahthawi. Ia menulis ide-idenya mengenai pendidikan meliputi: Pertama, pembagian jenjang pendidikan atas tingkat permulaan, menengan dan pendidikan tinggi sebagai pendidikan akhir. Kedua, pendidikan diperlukan, karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan. Ketiga, pendidikan mesti dalaksanakan dan diperuntukkan bagi segala golongan. Makanya tidak ada perbedaan antara pendidikan untuk  anak laki-laki dan anak perempuan. Pemikiran mengenai persamaan antara laki-laki dan pendidikan anak perempuan ini dinilai sebagai mencontoh ide pemikiran Yunani.[17]
Ketiga adalah Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897M), Jamaluddin al-Afgani Ibn Safdar, yang lahir diafganistan dan meninggal di Istanbul. Beliau berpendapat bahwa salahsatu penyebab kemunduran umat Islam adalah umat Islam telah meninggalkan agama islam yang sebenarnya. Ajaran qada’ dn qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang menyebabkan umat menjadi statis. Menurutnya, Umat Islam harys kembali pada ajaran islam yg benar, mernsucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban guna kepentingan umat dan mengubah pemerintahan yang otokratis menjadi demokratis, serta mewujudkan persatuan umat sehingga bisa maju relevan dengan tuntutan zaman.[18]
Ide pemikiran Pemikiran Filsafat pendidikan Islam adalah pengembangan pendidikan secara umum, dimana tujuan akhirnya adalah memperkuat dunia islam secara politis dalam menghadapi dominasi Barat.
Ketiga adalah MuhammadAbduh, yang dilahirkan tahun 1848M/1266 H di salah satu desa di propinsi Gharbiyah, Mesir bagian hilir. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan suku Arab asal keturunan khalifah Umar Ibn Khattab.
Tokoh ini yang memulai membongkar kejumudan umat Islam dengan konsep rasionalitasnya, Pemikiran Filsafat pendidikan Islam yang disebarkan melalui majalah al-Manar dan al-‘Urwat al-Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh pembaharu di dunia Islam. Konsep mendasar Muhammad Abduh adalah menentang sistem dualisme dalam pendidikan, dimana menurutnya, sekolah-sekolah umum harus diberikan pelajaran agama begitu juga sebaliknya, sekolah-sekolah agama harus diberikan pengajaran ilmu pengetahuan umum.[19]
Banyak tokoh pembaharuan dalam Islam yang mendasarkan pola pikirnya merujuk konsep pemikiran Muhammad Abduh, diantaranya Rasyid Rida, Kasim Amin dengan bukunya Tahrir al-Mar’ah, Farid Wajdi dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syeikh Thanthawi Jauhari melalui karangannya al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum.
Keempat Rasyid Ridla, lahir di al-qalamun, sebuah desa di Libanon, dekat Tripoli, Syiria, pada tahun 1865M. Muhammad Rasyid Ridha mengenal dan meneruskan gagasan pemikiran pendidikan Al-Afgani dan Muhammad Abduh,melalui majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar.[20]
Ide Pemikiran Filsafat pendidikan Islam Rasyid Rida dalam pendidikan adalah mengutamakan pembangunan sarana pendidikan daripada masjid, dengan alasan pada zaman Nabi SAW, menjadi tempat Beliau mengajarkan ajaran islam dan tempat pemerintahan. Realisasi ide pemikiran Rasyid Rida adalah pembangunan sekolah Misi Islam dengan sebutan Al-Da’wat wa Al-Irsyad, di Raudat, Kairo. Perubahan kurikulum diadakan dengan menambah materi-matreri pengetahuan teknologi modern, dengan tujuan supaya umat islam mampu menggunakan teknologi.[21]
Secara ringkas, masjid tidak hanya berfungsi sebagi tempat beribadah tetapi juga menjadi tempat belajar, sebagaimana telah terjadi di zaman Nabi SAW.
Kelima adalah Sayyid Akhmad Khan (1817-1898M), lahir di kota Delhi pada tahun 1817M. Beliau adalah keturunan Nabi SAW dari cucu beliau, husayn Ibn Ali Ibn Abi talib. Sayyid Akhmad Khan berpendapat Pemikiran Filsafat pendidikan Islam peningkatan kedudukan umat islam bisa terwujud dengan bekerja sama dengan Inggris. Realisasi Ide itu dimulai dengan mendirikan lembaga pendidikan sekolah inggris, Mudarabbah, pada 1864 dan scientific society, serta lembaga pendidikan yang mengkaji ilmu umum. 
Keenam adalah Muhammad Iqbal, sosok reformis yang lahir di Sialkot, Punjab, India pada tahun 1877M. Pendapat beliau sama dengan pembaharu yang lain, bahwa kemunduran umat Islam disebabkan kejumudan, kebekuan dalam pemikiran. Menurut beliau,sebuah institusi penegak hukum Islam yang menaungi seluruh umat Islam dzlzm sebuah naungan negara yang disebut Khilafah Islamiyah sangat urgensi, guna  memperbaharui Islam di segala bidang termasuk pendidikan. Pemikiran Filsafat pendidikan Islam menurut pendapat Muhammad Iqbal, pendidikan itu bersifat dinamis dan kreatif dan perlu diarahkan guna memberi kesempatan berkreasi emangat kreatif yang bersemayam pada diri manusia serta mempersenjatainya dengan kemampuan  untuk menguasai bidang seni dan ilmu pebgetahuan yang baru,  kecerdasan dan kekuatan.[22]
Di Indonesia juga terdapat beberapa tokoh Pemikiran Filsafat pendidikan Islam yang sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan Islam. Diantaranya Haji Karim Amrullah, yang dikenal dengan buya Hamka, Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah, K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pondok Tebu Ireng, jombang dan salah satu pendiri organisasi NU, dan Ki Hajar Dewantara, peletak dasar pendidikan Nasional.






[1] M. Bashori Muchsin, Moh. Sulton, Abdul Wahid, Pendidikan Islam Humanistik, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hal. 1.
[2] Yusuf Al Qardawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj.Bustami, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 157.
[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos,1999), 4.
[4] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung, Ma’arif, 1995), 120.
[5] Zuhairini Dkk, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, (Jakarta: IAIN, 1986), 95.
[6] ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Ata, Muqaddimah al-Tab’ah al-Ula dalam Abdullah Ibn Muslim Al Qutaybah, Ta’wil Muhtalif al-Hadit},(Muassasah al-Kutub al-Taqafiyah: Beirut, 1988), 8.
[7] S.M. Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), 80.
[8] Syamsudin Dkk, Beberapa  Pemikiran Pendidikan Islam, terj, Muhammad Atiyah al Abrasyi, dalam, Ruh al islam,Itali: Matba’ah Lajnah Al ‘Arabi,( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996),  99.
[9] Muhammad Atiyah al Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth), 216.
[10] al Abrasyi, al-Tarbiyah, 242.
[11] Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), 89.
[12] al Abrasyi, al-Tarbiyah, 245.
[13] Edi Yusrianto, Lintasan Sejarah Pendidikan Islam, (Pekanbaru: Intania Grafika, 2008), 51.
[14] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 35.
[15] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1986), 97.
[16] Binti Maunah, Perbandingan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), 222.
[17]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 39.
[18] Ali Mufrodi, Islam Di Kawsan Arab,(Surabaya: Anika Bahagia, 2010), 162.
[19] Binti Maunah, Perbandingan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), 229.
[20] Ali Mufrodi, Islam Di Kawsan Arab,(Surabaya: Anika Bahagia, 2010), 167.
[21] Maunah, perbandingan, 250.
[22] K.G. Sayidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (Bandung: CV. Diponegoro, 1986), 170.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANGGAPAN DASAR DAN HIPOTESIS

Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI QURAN