Manfaat dan Kritik Teknologi Pendidikan

Manfaat dan Kritik Teknologi Pendidikan
Manfaat dan Kritik Teknologi Pendidikan
   A.  Manfaat Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan sebagai instrumen, metode tentu sangat strategis dan signifikan bagi pendidikan yang efektif. Dalam pembelajaran biologi, betapa strategisnya sebuah microscope yang digunakan siswa secara langsung untuk melihat benda kecil. Sebagaimana sebuah globe atau peta wilayah dalam pelajaran geografi.
Nilai stragis Manfaat dan Kritik Teknologi Pendidikan semakin signifikan jika disertai dengan kemampuan atau kompetensi guru dalam menerapkan metode pembelajaran yang sistematis dan baik. Ketersediaan teknologi perangkat keras (microscope atau globe) disertai dengan teknologi perangkat lunak akan menghasilkan teknologi pendidikan yang mangkus dalam pendidikan.

Tidak terbantahkan lagi bagaimana peran teknologi dalam memajukan perpustakaan sebagai sumber belajar. Perpustakaan-perpustakaan besar yang melayani pendidikan maju  selalu dilengkapi dengan sumber-sumber bacaan atau media yang didukung dengan teknologi canggih. Tidak terbilang lagi manfaat teknologi scanning dalam menyimpan naskah-naskah kuno yang hampir punah dari kodifikasi.
Di Perpustakaan Nasional, naskah-naskah atau artefak-artefak bernilai historis disimpan dalam ruang dengan suhu dan pengaturan yang bebas jamur. Untuk membaca, pengunjung tidak lagi boleh menyentuh tetapi harus menggunakan mikrofilm. Perpustakaan yang berbasis teknologi dibangun untuk mendukung semangat masyarakat pembelajar dan menjadi jantung kegiatan akademis baik belajar maupun riset. Teknologi pendidikan dirancang untuk membangun dunia, budaya keilmuan yang unggul sesuai dengan perkembangan zaman.[1]
Satu ilustrasi lagi yang mununjukkan posisi strategis teknologi pendidikan dan signifikasinya  adalah cerita seorang guru biologi dari Idhaho Amerika Serikat yang terpilih menjadi astronot. Sepulang dari misi ruang angkasanya ia kembali mengajar di kelas. Pengalaman misi dan eksplorasi ruang angkasa dengan didukung teknologi aerospaceNASA diceritakan  langsung oleh pelaku hidup pada siswa-siswa atau anak muda yang masih belajar di kelas tentu akan memiliki dampak motivasi yang kuat.
Bandingkan dengan pengalaman yang sama tetapi diceritakan oleh guru biasa yang baru lulus sarjana tanpa pengalaman langsung ke ruang angkasa. Dampak psikologsi dan pedagogisnya tentu jauh berbeda. Dalam batas-batas tertentu, teknologi pendidikan mampu mendekatkan anak didik pada eksperimental learning yang mendekati pada kenyataan dunia riil. Dengan wawasan teori contextual teaching learning, teknologi pedidikan mampu mengarahkan pembelajaran yang bermakna dan kontekstual.
Tantangan berikutnya terletak pada tangan para guru. Kemampuan mereka memacu anak didik, dengan teknologi pendidikan, melakukan kontruksi ilmu pengetahuan yang scera terus-menerus menjadi relevan. Sebagaimana dijelaskan Zahorik:
Knowledge is constructed by human. Knowledge is not set of fact, concept, or laws waiting to be discovered. It is not something that exist independent of a knower. Human create or construc as they attemp to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made.[2]
Pengetahuan dibangun oleh manusia. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau hukum teoritis yang menunggu untuk ditemukan manusia, Manusialah yang mengkreasi atau mengontruksi sejauh mereka berusaha memaknai pengalaman hidup mereka. Sebagaimana juga teknologi pendidikan berkembang sejauah kemampuan usaha manusia menciptakannya untuk mempermudah kerja pendidikan yang dilakukan. Dan sejauh teknologi pendidikanitu memberi manfaat pada pendidikan yang mencerdaskan dan manusiawi, maka teknologi pendidikan itu memiliki nilai stratgeis dan signifikasinya bagi dunia pendidikan. 
Lihat Juga:
Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Agama
B.  Kritik Teknologi Pendidikan
Agar kajian pada teknologi pendidikan berdiri pada prinsip keseimbangan, maka setelah mengetahui manfaatnya, ada baiknya kritik pada teknologi pendidikan juga perlu dilakukan. Bukankah sejauh teknologi pedidikan adalah karya mansia, maka selalu ada unsur ketidaksempurnaan, kelemahan dan cacatnya yang perlu perbaikan. Kritik pada teknologi pendidikan bagaimanapun akan mengobjektivikasi kita bahwa teknologi tetaplah alat, tetaplah instrumen sekaligus menjauhkan kita dari pendewaan atau kultus pada teknologi tersebut.
Euforia dan ketergantungan pada penggunaan teknologi pendidikan dalam proses menjadi kekhawatiran bahwa guru dan siswa menjadi teralienasi atau terasingkan. Dikiranya teknologi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan akademik dan keilmuan, seringkali teknologi menciptakan jarak antara manusia yang tidak lagi bisa bertegus sapa. Jarak komunikasi kemanusiaan guru dan murid menjadi semakin terbentang dan dikendalikan oleh teknologi pendidikan, komunikasi langsung menjadi situasi yang langka.
Socrates seorang filsuf yang megajarkan kebijakan dengan metode dialogis menentang penggunaan tulisan yang berlebihan. Baginya, tulisan sangat tidak dialogis. Pembaca dipaksa untuk menuruti tulisan tanpa bisa secara interaktif berdialog ala guru dan murid sebagaimana pembelajaran langsung yang ia lakukan di kota Athena. Menurut penjelasan Plato dalam buku Paedros, gurunya itu menolak tulisan dengan berkata:
Sesuatu yang mengerikan dari tulisan dan kebenaran adalah seperti lukisan. Maksud saya, ciptaan-ciptaan dari seorang pelukis berdiri seperti makhluk yang hidup, tetapi bila Anda menanyai sesuatu kebenaran, mereka diam membisu. Dan begitu halnya dengan tulisan; barangkali Anda berpikir bahwa mereka berbicara seolah mereka memili kecerdasan, tetapi bila Anda mengajukan pertanyaan dengan maksud memperoleh informasi yag dikatakan, tulisan itu hanya menyedakan jawaban tunggal.[3]
Sokrates tidak semata-mata menolak lukisan dan tulisan. Efeklukisan dan tulisan yang menghilangkan ruang dialog interpersonal antara murid dan guru itulah yang ia tolak. Bagi Socrates ruang dialog interpersonal adalah penyambung rasa kemanusia antara guru dan murid.
Jauh berabad lamanya setelah Socrates, dalam konteks teknologi pendidikan yang modern, di era komputerisasi dan digitalisasi,  Jerome Bruner, pakar psikologi pendidikan asal Amerika Serikat menyuarakan hal senada dengan yang dikakhawatirkan Socrates  soal teknologi pendidikan. Bruner tentu saja tidak menolak hadirnya  budaya informasi. Namun efek dehumanisasi pada anak didik yang dibawa budaya informasi itulah yang dihawatirkannya. 
Dalam bukunya The Cuture of Education, Bruner mengingatkan dominasi penggunaan tekologi pendidikan berbasis komputer akan menghadirkan gejala komputerisme. Gejala sikap nalar yang menjejali benak anak didik dengan lautan informasi dari teknologi informasi, tetapi alpa pemaknaan dan tanpa kemampuan refleksi atau perenungan yang kuat. Kegiatan belajar direduksi menjadi sebatas kegiatan menumpuk-tumpuk informasi yang didapat dari teknologi informasi yang telah menjelma menjadi teknologi pendidikan.[4]
Dalam kasus ujian nasional, bukankah nalar tergantung pada teknologi menemukan bentuknya?  Demi efektivitas dan sesuai tuntutan teknologi pemindaian, soal harus didesain berbentuk pilihan ganda, sebab mesin tidak akan mampu mengoreksi jawaban soal esai. Lembar jawaban dikoreksi sepenuhnya oleh mesin pemindai. Hasil belajar selama tiga tahun di SMP atau SMA diukur hanya dengan koreksi mesin pemindai yang hanya membaca jawaban pilihan ganda. Nahasnya, jawaban itu lalu digunakan sebagai acuan pemetaan mutu pendidikan nasional. Sementara kemampuan atau kompetensi anak didik menulis, mengemukan pendapat secara verbal tidak diakui dalam ujian. Mesin pemindai hanya melihat jawaban secara kuantitatif tanpa bisa mengkonfirmasi validitas atau otentisitas jawaban itu murni asli atau palsu hasil contekan dari peserta ujian atau tidak.
Bagimanapun, sosok guru yang mampu memberi makna, memberi tafsiran, mengajak siswa melakukan refleksi serta melakukan koreksi dan konfirmasi secara langsung secara kualitatif tetap tidak tergantikan oleh canggihnya teknologi pendidikan. Hadirnya guru dan murid dalam ruang komunikasi yang akrab dan hangat tidak akan tergantikan oleh teknologi pendidikan yang berpotensi mengasingkan guru dan peserta didik.
Dilihat dari segi ekonomi dan politik, Manfaat dan Kritik Teknologi Pendidikan rawan dikuasai para pemilik kapital. Sekolah-sekolah besar atau kaya dan sekolah yang dekat dengan kekuasaan memiliki peluang mendapatkan teknologi pendidikan yang lebih memadai daripada sekolah pinggiran yang miskin dan jauah dari kekusaan. Disparitas sekolah unggul, sekolah maju, sekolah berkualitas yang ada terjadi di seantero Indonesia adalah bukti kesenjangan penguasaan teknologi pendidikan yang belum merata antarsekolah dan antardaerah di dunia pendidikan tanah air ini.





[1] Geoffrey T. Freeman, “The Academic Library in 21st Century: Partner in Education”, T.D. Webb, Building Libraries for The 21st Century: The Shape of Information (North Carolina: McFarland, 2004), 168.
[2]  Suplemen Pelatihan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching Learning) (Depdiknas, Dirjen Pendidikan Dasar Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2002), 13.
[3] Neil Postman, Pembelajaran, 274.
[4] Neil Postman, Pembelajaran, 278.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANGGAPAN DASAR DAN HIPOTESIS

Teori Interpretasi Tekstual dan Kontekstual Hadist

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI QURAN